August 28, 2012

#Opini [Harian Waspada]: Amburadurnya Kampus Kita

Tulisan dibawah dimuat di Harian Waspada Edisi Selasa 28 Agustus 2012. Waspada tidak mengupload opini ke websitenya, hanya ada epapernya kalau anda mau baca online di hal B7.


***
“Senyum, Sapa, Salam”. Motto seperti itu sering kita temui di tempat-tempat umum, terutama berkaitan dengan pelayanan publik. Namun saya tidak merasakan praktek slogan tersebut ketika saya menamani saudara saya mendaftar ulang kuliah di salah satu perguruan tinggi di Aceh. Sekarang kampus memang sedang disibukkan dengan penerimaan mahasiswa baru, pendaftaran ulang, dan permulaan awal tahun akademik. Meskipun banyak perguruan tinggi kita sudah berusia puluhan tahun, terutama yang statusnya negeri, namun kebanyakan belum mampu keluar dari masalah-masalah yang setiap tahun terjadi dalam menyambut mahasiswa baru. persoalannya tesebut berkisar seputar akses informasi, masalah administrasi, dan kualitas layanan.

Persoalan informasi sebenarnya adalah persoalan mendasar. Banyak potensi-potensi permasalahan bisa diselesaikan atau setidaknya diminimalisir melalui layanan informasi yang bagus. Setelah lulus ujian SNMPTN, saudara saya melunasi Sumbangan Pembangunan Pendidikan (SPP) sebagai langkah awal pendaftaran ulang. Menurut informasi yang dia dapatkan, dia harus membayar SPP tunggal. Namun tiba-tiba ada perubahan dari pihak rektorat kampus yang membatalkan SPP tunggal dan diganti dengan SPP biasa.

Karena prubahan tersebut, dia diminta oleh panitia yang bertugas untuk pendaftaran ulang supaya bisa mengambil uangnya kembali di bank. Menyangkut dengan informasi, setidaknya ada dua persoalan mendasar yang menimbulkan banyak masalah. Pertama adalah akses terhadap informasi. Banyak informasi-informasi yang diperlukan oleh mahasiswa-mahasiswa baru tidak tertulis dan tertempel dengan baik. Akibatnya para calon mahasiswa berputar-putar. Seharusnya informasi-informasi penting yang perlu diketahui oleh mahasiswa sudah ditempel dengan baik lengkap dengan penunjuk-penunjuknya.

Idealnya untuk zaman yang serba digital seperti sekarang, semua informasi bisa diakses dengan cepat di situs-situs resmi kampus. Karena banyak mahasiswa yang berdomisili jauh dari kampus. Celakanya, Layanan informasi online juga terkadang tidak diperbarui secara intensif.  Dalam kasus yang dialami oleh saudara saya, seandainya ada update informasi yang cepat di website, tentu saja jumlah mahasiswa yang melakukan kesalahan akan berkurang. Banyak dampaknya yang ditimbulkan, salah satunya adalah cost waktu dan energy yang dihabiskan hanya karena keterlambatan informasi. Belum lagi ada orang tua yang mengorbankan kebutuhan lainnya, demi pelunasan SPP, bahkan tidak sedikit yang berhutang kepada tetangga atau menjual hartanya.

Persoalan kedua yaitu menyangkut dengan sosialisasi setiap informasi. Hal ini juga sangat rentan terjadi tidak hanya di perguruan tinggi, hampir semua lembaga pemerintahan kita bermasalah dengan sosialisasi informasi. Menurut saya, kampus-kampus kita belum mempunyai system yang sudah terbangun (established-system) dengan baik untuk menyebarluaskan setiap informasi publik untuk mahasiswa. Tidak sedikit keputusan yang diambil berkenaan dengan hajat hidup orang banyak, langsung diterapkan tanpa ada sosiali yang menyeluruh sebelumnya.

Akibatnya sering muncul protes dari mahasiswa, bahkan tidak sedikit yang berujung anarkis dan menjadi boomerang buat kampus sendiri. Contoh kecil, penerapan SPP tungal tahun ini, karena banyak masyarakat kita tidak mengerti tentang SPP tunggal, akhirnya berpikir negatif terhadap kampus. Bahkan ada yang menduga kalau pihak kampus melakukan korupsi dengan penambahana dana SPP 100 persen. Padahal pemberlakuan SPP tungal juga salah satu cara untuk melancarkan proses study mahasiswa nantinya. Masalahnya adalah tidak adanya sosialisai yang baik.
Permasalahan selanjutnya menyangkut dengan urusan adminitrasi. Pengalaman saya menjadi mahasiswa dan mengurus saudara saya kemarin, peraturan yang diterapkan di banyak kampus  sangat tidak efektif dan efesien. Contoh kecilnya adalah penggunaan slip SPP. Pada hari pertama, saat mendaftar ulang pertama kali, panitia meminta ditunjukkan slip asli dari ban. Hari kedua pada saat pengisian KRS, panitia juga meminta mahasiswa baru untuk mengisi data yang sama seperti hari pertama dan menyerahkan kembali bukti pembayaran SPP. Pada saat mendaftar orientasi mahasiswa baru (ordikmaru), petugas lagi-lagi meminta slip SPP.
Untuk 3 urusan saja, sang mahasiswa harus memperbanyak slip dan menyerahkannya setiap meja. Padahal semua kelengkapan berkas, termasuk slip SPP sudah diperiksa pertama kali. Saya tidak tau apa pertimbangannya sehingga setiap mengurus sesuatu harus dibuktikan dengan slip SPP.
Itu baru untuk masalah pendafataran ulang, pengisian KRS, dan pendaftaran ospek, belum lagi urus KTM, asuransi, dan sebagainya. Saya yakin hampir setiap ada pengurusan, salah satu yang diminta adalah slip yang notabene sudah ada pada mereka sebelumnya, hanya beda meja saja. Praktek tersebut menunjukkan betapa amburadurnya persoalan administrasi perguran tinggi kita.

Idealnya cukup satu kali diminta atau tidak perlu mengisi data yang sama setiap ada pengurusan. Karenanya tidak berlebihan kalau ada slogan “Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah”. Pengalaman saya study di Universitas Ohio, Amerika, meskipun saya belajar dengan dana beasiswa yang seharusnya banyak berusan dengan berkas, namun hanya satu kali saya mengisi data dan digunakan untuk semua keperluan. Untuk akses ke asrama, masuk ke rumah makan kampus, pustaka, pusat olah raga, dan berbagai fasilitas lainnya yang ada di kampus cukup dengan satu kali pengisian data.

Saya tidak bermaksud untuk membandingkan perguruan tinggi di negara maju seperti Amerika dengan kampus-kampus yang ada di Indonesia, apalagi di Aceh. Namun sebenarnya praktek tersebut dapat kita contohkan dan saya yakin mampu kita terapkan di Indonesia. Persoalannya terletak pada niat baik pengelola kampus, terutama para pengambil kebijakan. Karena dengan perbaikan pada persoalan administrasi saja, selain dapat mengefektifkan waktu, uang, dan tenaga tetapi juga dapat berpartisipasi dalam menjaga lingkungan.

Persoalan urgensi lainnya yang sering dialami mahasiswa baru di kampus adalah layanan yang mereka dapatkan. Seharusnya ketika datangnya musim penerimaan mahasiswa baru yang setiap tahun mereka alami, pihak kampus sudah mempersipkan segala sesuatu yang dibutuhkan demi memberikan kepuasan kepada konsumennya (mahasiswa). Misalkan, pihak kampus dapat mempersiapkan information desk pada setiap sudut  yang dibutuhkan, sehingga mahasiswa atau ada orangtua/wali mahasiswa baru dapat bertanya segala informasi yang mereka butuhkan. Akibatnya mereka tidak berputar kesana kemari untuk mendapatkan informasi.

Salain masalah keefektan waktu dan tenaga, dampak lainnya adalah mahasiwa meresa muda sehingga mereka puas dan kampuspun mendapat apresiasi karena menciptakan kesan pertama yang baik bagi calon peserta didik mereka. Faktanya jangankan untuk mendapatkan salam atau senyum, mendatkan layanan informasi saja susah.

Permasalahan diatas hanya sekelumit persoalan yang terjadi di kampus-kampus kita, belum lagi kita bicara masalah professionalism dosen, kelengkapan fasilitas, pengelolaan dana beasiswa, budaya membaca atau menulis, dan transparansi pengelolaan keuangan. Kalau masalah administrasi saja belum mampu kita selesaikan, wajarkah rektornya mengharapakan kampusnya masuk dalam world class university?

* Muhammad Adam adalah Alumnus IELSP Ohio University, USA. Peserta MEP Australia
  2012 dan Pegiat di Komunitas Gensee)
.

       

0 comments:

Post a Comment

 
Web developed by Eka.aSOKA.web.id | Domain Host by aSOKAhost.com
Follow @MuehammadAdam