November 12, 2011

Tiga Kendala Pilkada

TAHAPAN pemilihan umum kepala daerah di Aceh memasuki babak baru menyusul keputusan sela Mahkamah Konstistusi Nomor 108/PHPU.D-IX/2011. Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh membuka kembali pendaftaran selama tujuh hari, mulai 3-10 November. Persoalan baru pun muncul mengikuti keputusan tersebut, dan bukan tidak mungkin menjadi lebih rumit ketika putusan final keluar nanti.

Penerimaan pasangan bakal calon baru berimplikasi terhadap anggaran dan teknis pelaksanaan. Untuk pasangan dari partai politik, barangkali tidak terlalu bermasalah. Namun bagaimana dengan pasangan independen yang mewajibkan penyerahan fotokopi identitas bukti dukungan sebanyak tiga persen dari jumlah penduduk. KIP kabupaten/kota yang harus memverifikasi faktual bukti dukungan tersebut tidak tahu sumber anggaran. Verifikasi faktual yang dilakukan Panitia Pemungutan Suara (PPS), membutuhkan anggaran yang tidak sedikit karena dilakukan 100 persen terhadap semua dukungan. Anggaran tidak dialokasikan karena pendaftaran babak kedua termasuk force majure.

Bagi sebagian pihak termasuk KIP kabupaten/kota, penafsiran putusan sela MK keliru diterjemahkan KIP Aceh. Tujuh hari pendaftaran dibuka kembali setelah KIP Aceh menyusun tahapan, program, dan jadwal. Setelah selesai, baru membuka kembali masa pendaftaran selama tujuh hari. Logikanya, masa pendaftaran masuk dalam tahapan dan program. Bagaimana mungkin pendaftaran dibuka kemudian jadwal disusun belakangan. Majelis hakim MK tentu tidak salah minum obat ketika mengeluarkan putusan sela tersebut. Argumentasi tersebut sudah disampaikan kepada KIP Aceh, tetapi komisioner di provinsi tetap kekeuh bahwa keputusan yang mereka ambil sudah benar dan tidak mungkin diubah lagi.

Bila melihat ke belakang, perubahan jadwal ini merupakan yang ketiga kalinya. Pertama, KIP Aceh memutuskan pemungutan pada 14 November 2011, lalu 24 Oktober 2011 menyusul cooling down dan kini siap-siap lagi dengan perubahan ketiga. Bila salah mengambil langkah, bukan mustahil akan ada perubahan keempat untuk kemudian pilkada tertunda. Tekanan politik ke arah itu cukup kuat dan ini menjadi tantangan lain bagi penyelenggara.

Karut-marut pilkada Aceh, sebenarnya sudah diperhitungkan sejak awal oleh sejumlah KIP kabupaten/kota. Dalam rapat penetapan jadwal di Banda Aceh, Mei lalu, KIP Aceh dinilai melanggar asas tertib penyelenggaraan sebagaimana amanat undang-undang. Jadwal kampanye yang masuk dalam masa hari-hari besar, merupakan pelanggaran serius asas tertib penyelenggaraan. Kesalahan itu dilakukan lagi pada penetapan jadwal kedua, yang memaksa KIP kabupaten/kota bekerja pada Idul Adha.

Tiga kendala
Secara keseluruhan, ada tiga persoalan utama dalam karut-marut pilkada Aceh. Pertama, konflik kepentingan elite politik yang membias kepada penyelenggara. Kepentingan politik ini mampu memengaruhi tahapan pelaksanaan secara keseluruhan, apalagi kemudian mereka menggunakan kekuatan massa yang mengesankan bahwa tekanan tersebut merupakan aspirasi rakyat. Kedua, adanya konflik regulasi antara peraturan yang berlaku umum dengan aturan khusus. Dan terakhir, lemahnya manajemen penyelenggara di tingkat provinsi. Dua kendala berada di luar ranah penyelenggara meski magnitudo-nya lebih kuat. Penyelenggara tentu tidak perlu ikut bermain di dua kendala tersebut. KIP seharusnya fokus pada tugas dan kewenangannya untuk melaksanakan pilkada. Masalah politis dan konflik regulasi, biarlah menjadi hak dan kewajiban pihak lain karena di luar kuasa penyelenggara untuk mengendalikannya. Kalaupun para pemangku kepentingan mencoba mempermainkan kedua hal itu untuk kepentingan politik jangka pendek, toh ada pers yang mencatat, ada masyarakat yang menilai, dan ada risiko politik yang harus mereka tanggung.

Dengan kewenangannya, KIP Aceh seharusnya dapat meminimalisir peluang gugatan dari pihak mana pun. Masalah konflik regulasi, bukan sekali ini terjadi. Dalam pilkada 2006 pun, hal itu terjadi dan sampai hari ini, tidak ada gugatan terhadap hasilnya. Pasangan terpilih masih memimpin daerah masing-masing, meski ada di antaranya sudah diganti karena terjerat kasus hukum.

Penyusunan tahapan merupakan ruh yang menjadi pertaruhan sukses penyelenggaraan. Dengan tiga kali perubahan, sudah cukup membuktikan lemahnya manajemen penyelenggaraan oleh KIP Aceh. Padahal, dengan pemilihan secara bersamaan, kewenangan mereka lebih besar dibandingkan bila pemilihan dilakukan terpisah antara gubernur, bupati, dan walikota. KIP Aceh harus bersikap sebagai event organizer terhadap proses demokrasi perebutan kekuasaan lokal secara konstitusional. Peran ini sebenarnya lebih mudah karena sebagian besar regulasi, tinggal mengadop peraturan KPU yang berlaku nasional untuk kemudian disesuaikan dengan kekhasan Aceh.

Selain lemah dalam memenej penyelenggaraan, KIP Aceh juga belum mengasistensi KIP kabupaten/kota secara maksimal. Beberapa tahapan dan ketentuan di kabupaten/kota tidak berjalan seragam sehingga membingungkan bakal calon. Ini terlihat dalam proses verifikasi faktual bukti dukungan dan masalah calon pengganti. Akibat tidak mendapatkan jawaban tuntas atau bahkan tidak mendapatkan jawaban sama sekali, akhirnya supervisi dilakukan beberapa komisioner kabupaten/kota. Hal itu disebabkan supervisi per telepon yang seharusnya berjalan efektif untuk kasus-kasus insidentil, gagal terjalin karena komisioner provinsi jarang mengangkat telepon atau membalas pesan singkat.  

Selama ini, penyusunan tahapan dan jadwal tidak dilakukan KIP Aceh dalam sekali jalan, melainkan sambil jalan. Ketika tahapan dimulai, seharusnya seluruh peraturan yang mengatur tentang tahapan sudah tersedia sehingga KIP tinggal menyosialisasikan kepada peserta dan masyarakat. Tidak seperti sekarang, tahapan sudah berjalan tetapi sejumlah keputusan KIP Aceh belum tersedia, seperti tentang kampanye yang baru ada setelah tahapan pencalonan belum selesai. Dengan waktu yang demikian sempit, jangankan melakukan sosialisasi kepada masyarakat, memahami aturan itu secara seragam di tingkat komisioner pun sangat terbatas. Padahal tiga kunci sukses pilkada adalah sosialisasi, sosialisasi, dan sosialisasi. Sedemikian pentingnya sampai disebut tiga kali yang bisa juga dimaknai sosialisasi kepada penyelenggara sampai tingkat bawah, kepada peserta, dan kepada pemilih.

Seluruh tahapan yang dilakukan KIP, seharusnya bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Artinya, apa pun hasilnya, siapa pun yang terpilih, KIP sudah siap berjumpa di MK dengan siapa pun. Prinsip ini membuat KIP lebih waspada dalam menyusun serta mengimplementasikan tahapan dan program. KIP Aceh jangan lagi menyediakan amunisi kepada pihak lain untuk menyerang. Bahkan tanpa penyediaan amunisi pun, penyelenggara sudah diserang dari berbagai sudut. Cooling down yang tidak pernah kita dengar di daerah mana pun dalam tahapan pilkada, dan putusan sela MK, merupakan dua amunisi yang memaksa KIP Aceh menganulir kembali tahapan yang sudah diputuskan. Pihak lain dengan mudah mem-fait accompli KIP karena terbuka celah untuk itu.

Dengan penyusunan kembali tahapan, sekarang bola berada di tangan KIP Aceh untuk kesekian kalinya. Janganlah bola kembali masuk ke gawang sendiri akibat keputusan blunder. Cukuplah tiga kali terperosok ke lubang sama, sebab seekor keledai pun tidak akan jatuh dua kali.

Penulis : Ayi Jufridar (anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Utara)
Sumber: Serambi Indonesia

0 comments:

Post a Comment

 
Web developed by Eka.aSOKA.web.id | Domain Host by aSOKAhost.com
Follow @MuehammadAdam