ZULHIJJAH dipercaya orang, termasuk ‘bulan baik’, buat menggelar pernikahan. Memang ada hari (bulan) yang nilainya lebih baik, daripada hari (bulan) yang lain. Sebagaimana ada tempat yang lebih utama untuk ibadah, daripada tempat biasanya. Namun hari dan tempat itu, makhluk Allah yang tak kuasa memberi mudarat dan manfaat sedikit pun, tanpa izin Allah.
Jika kepercayaan kita ada hari naas dan baik, ada tempat malang dan mujur, di sana bisa mujarab atau di sini tak berkah--tapi lupa pada Allah--itu bagian dari tahayul dan kurafat, yang justru dibasmi Islam. Dasar ilmu dan akidah umat yang kian dangkal, dalih dan tujuan yang beragam, maka sebagian saudara kita lebih yakin pada dukun jahat, mimpi buruk, zodiak, rasi bintang, klenik, peruntungan, dan setan, tinimbang pada pemilik alam semesta, Allah Swt, astaghfirullahal ‘azhim.
Menikah di ‘bulan panas’--Shafar sebelum perubahan iklim sekarang, misalnya--juga bisa langgeng rumah tangga itu lewat doa, restu, ikhtiar, dan kuasa Allah Taala. Sebaliknya, tidak juga panas sekali, tak bakal berantakan, rumah tangga yang nikah pada ‘hari-hari panas’ itu. Bisa kekal hingga rumah tangga diramaikan cucu dan cicit, dan kakek-nenek yang keriput pun bisa disaksikan masih ‘mesra’ saja, subhanallah. Sejoli yang nikah di ‘hari baik’, ‘bulan baik’, ‘tempat baik’ pun, bisa cerai berai jika tidak ada upaya, doa, restu, dan izin Allah. Menikah di depan Kakbah pun, bisa centang perenang, karena hati pasangan yang kian ‘panas’, tanpa ada usaha optimal buat ishlah (rukun, reformasi) dan tak ada upaya mengundang bantuan ‘pemadam kebakaran’. Sebelum nikah, api cinta membara; usai kawin dan punya anak, api dendam menyala.
Nikah sama saja keabsahannya, di mana pun: barak, rumah, KUA, masjid jamik, Masjid Raya Baiturrahman, rumah imam, balai teungku, atau rumah kos penghulu. Asal cukup syarat dan rukun--plus sepakat untuk mengayuh bahtera selamanya, jujur, lapang dada, hati bersih, taat dan ingat Allah--maka yakinlah akan langgeng rumah tangga. Jika modalnya cuma nekat dan ‘cinta monyet’, terbukti kandas dan pecah juga ‘perahu cinta’, diterpa badai karang konflik rumah tangga. Jadi, kita setuju atas saran Khuzaimah--staf di BKKBN Aceh--bahwa seluk beluk reproduksi mesti diajarkan sejak dini. Nikah mesti dimusyawarahkan sesama famili. Nikah dengan mahar selangit atau sedikit, mesti direncanakan para muda sejak kini (Serambi, 9/11/2011).
Angka perceraian
Menakjubkan, usai musibah akhir 2005, perceraian di Aceh tidak rasional lagi. Semester pertama, Januari-Juli 2011, terdata di Mahkamah Syar’iyah, sampai 1.623 pasangan suami istri di Aceh bercerai--tentu banyak yang tak dilaporkan, tidak dilafalkan, atau cerai di bawah tangan. Dalam catatan Mahkamah Syar’iyah provinsi, perceraian terjadi antara lain karena 14 alasan: ketidakharmonisan dalam rumah tangga, kurang tanggung jawab, kekerasan dalam rumah tangga, krisis moral, poligami, masalah ekonomi, nikah di bawah tangan, jarak usia yang terlalu jauh, dan gangguan pihak ketiga.
Tingginya angka perceraian yang diminta oleh istri karena perempuan semakin pintar, semakin mapan, dilindungi oleh berbagai UU, dan semakin sadar akan perlunya menyuarakan kesetaraan gender dan hak-haknya, dan tentunya tidak terlepas dari faktor-faktor lainnya.
Untuk itu, dimohon oleh ayah, ibu, dan penghulu saat khutbah nikah: jika satu pihak membawa api, yang satu lagi harus menyiram air.
Riuh dan ribut dengan takaran tertentu, dalam mengayuh rumah tangga itu, kayak sendok dan gelas, seperti belanga (beulangong) dan irus (aweuek), semacam garam penyedap menu yang sering dan kadang perlu.
Fluktuasi angka inflasi di ibukota, seperti Banda Aceh, membuat harga barang meninggi. Uang di dompet terasa tak bernilai. Fulus hari ini boleh banyak, esok sudah ludes. Biaya hidup di Aceh kian tinggi. Harga emas naik terus, terus naik. Memang emas mahal akibat kurs dollar AS melemah. Juga karena faktor kekuatan ekonomi global.
Satu mayam emas ke depan memang hampir dua juta rupiah. Angka segini, dua dasawarsa yang lalu, sudah memadai untuk meminang anak orang, dan pulang ke rumah mertua--jika mahar yang disepakati tak terlalu tinggi--lengkap dengan kenduri. Lowongan kerja di kantor pemerintah kian sempit, apalagi diisukan dengan moratorium PNS itu. Honorer yang lama antrean itu, kini lebih diutamakan. Lantas apakah gara-gara semua itu, Anda ikut menunda nikah?
Wahai pemuda Aceh yang beriman, jangan tunda nikah, dengan rekan kantor atau pilihan mama. Dengan nikah, Allah menjamin rezeki akan melimpah ruah. Kalau kita lebih ulet, hemat, sederhana, bangun subuh lebih pagi, dan tidak banyak tidur lagi. Jika kita memang yakin Allah itu Maha Kaya, Kecuali bagi siapa pun yang telanjur menyempitkan makna rezeki.
Wahai pemuda Aceh, jika sudah mampu, nikahlah. Bulan haji atau bulan depan, tapi tentukan tahunnya. Titah ini perintah Allah dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Rasul dan ambiya’ Allah itu, rata-rata menikah di usia muda, dan beranak cucu pula. Ulama juga begitu.
Harga emas selangit, mahar tinggi di Aceh, akan menghambat pemuda Aceh menikah. Mari kita bergotong-royong membantu mahar nikah itu. Jangan pula tunda nikah gara-gara belum sanggup walimah. Apa lagi buat pesta yang di dalamnya setan ikut menari. Walimah yang melangkahi sunah yang disenangi setan, adalah yang diiringi musik setan; ada judi, khalwat; dan khamar; yang meja makan dijaga wanita telanjang; yang hanya mengundang orang kenyang; sedangkan anak yatim dilupakan; mubazir; yang masam muka saat undangan datang beramplop tipis; atau kesal dengan hari mendung dan hujan; lupa shalat; serta pesta yang punya target akan pulang modal. Jika ingin untung, mari berdagang saja, bukan lewat walimah. Pesta pun dipilih tanggal muda, diundang banyak yang kaya, yang papa sebelah mata, didekati pawang hujan dan cari wangsit segala, seperti nikah juga di ‘hari keramat’.
Tidak cuma artis dan anak pejabat, orang kampung kita, tetangga di kota pun ramai-ramai percaya ‘hari sakti’ dan menikah di pagi ‘hari keramat’ itu. Baik pasangan yang nikah setelah ‘kawin’, maupun bagi yang akad nikah duluan, baru malamnya ‘kawin’, baru berbulan madu yang diimpikan orang, yang aduhai indahnya itu. Karena entah mitos atau kebetulan, tidak heran, dulu ramai juga yang ijab kabul pada 9 September 2009 (09-09-09). Lalu ramai yang dinikahkan KUA Kecamatan pada 10 Oktober 2010 (10-10-10).
Usai musim haji 1432 H ini, ramai juga yang memilih menikahkan perawan-jejaka, perawan-duda, janda-duda, atau janda-jejaka, tepat Jumat 11 November 2011 (11-11-11). Pun demikian, bagi pasangan yang kebetulan nikah hari itu, maupun yang sengaja memilih tanggal itu, juga buat yang sudah beranak cucu, atau belum punya, kita doakan semoga pernikahan semua kekal, dalam bingkai sakinah mawaddah wa rahmah, amin.
Penulis: Muhammad Yakub Yahya (staf Hukmas KUB Kanwil Kemenag Aceh.)
Sumber : Serambi Indonesia
Jika kepercayaan kita ada hari naas dan baik, ada tempat malang dan mujur, di sana bisa mujarab atau di sini tak berkah--tapi lupa pada Allah--itu bagian dari tahayul dan kurafat, yang justru dibasmi Islam. Dasar ilmu dan akidah umat yang kian dangkal, dalih dan tujuan yang beragam, maka sebagian saudara kita lebih yakin pada dukun jahat, mimpi buruk, zodiak, rasi bintang, klenik, peruntungan, dan setan, tinimbang pada pemilik alam semesta, Allah Swt, astaghfirullahal ‘azhim.
Menikah di ‘bulan panas’--Shafar sebelum perubahan iklim sekarang, misalnya--juga bisa langgeng rumah tangga itu lewat doa, restu, ikhtiar, dan kuasa Allah Taala. Sebaliknya, tidak juga panas sekali, tak bakal berantakan, rumah tangga yang nikah pada ‘hari-hari panas’ itu. Bisa kekal hingga rumah tangga diramaikan cucu dan cicit, dan kakek-nenek yang keriput pun bisa disaksikan masih ‘mesra’ saja, subhanallah. Sejoli yang nikah di ‘hari baik’, ‘bulan baik’, ‘tempat baik’ pun, bisa cerai berai jika tidak ada upaya, doa, restu, dan izin Allah. Menikah di depan Kakbah pun, bisa centang perenang, karena hati pasangan yang kian ‘panas’, tanpa ada usaha optimal buat ishlah (rukun, reformasi) dan tak ada upaya mengundang bantuan ‘pemadam kebakaran’. Sebelum nikah, api cinta membara; usai kawin dan punya anak, api dendam menyala.
Nikah sama saja keabsahannya, di mana pun: barak, rumah, KUA, masjid jamik, Masjid Raya Baiturrahman, rumah imam, balai teungku, atau rumah kos penghulu. Asal cukup syarat dan rukun--plus sepakat untuk mengayuh bahtera selamanya, jujur, lapang dada, hati bersih, taat dan ingat Allah--maka yakinlah akan langgeng rumah tangga. Jika modalnya cuma nekat dan ‘cinta monyet’, terbukti kandas dan pecah juga ‘perahu cinta’, diterpa badai karang konflik rumah tangga. Jadi, kita setuju atas saran Khuzaimah--staf di BKKBN Aceh--bahwa seluk beluk reproduksi mesti diajarkan sejak dini. Nikah mesti dimusyawarahkan sesama famili. Nikah dengan mahar selangit atau sedikit, mesti direncanakan para muda sejak kini (Serambi, 9/11/2011).
Angka perceraian
Menakjubkan, usai musibah akhir 2005, perceraian di Aceh tidak rasional lagi. Semester pertama, Januari-Juli 2011, terdata di Mahkamah Syar’iyah, sampai 1.623 pasangan suami istri di Aceh bercerai--tentu banyak yang tak dilaporkan, tidak dilafalkan, atau cerai di bawah tangan. Dalam catatan Mahkamah Syar’iyah provinsi, perceraian terjadi antara lain karena 14 alasan: ketidakharmonisan dalam rumah tangga, kurang tanggung jawab, kekerasan dalam rumah tangga, krisis moral, poligami, masalah ekonomi, nikah di bawah tangan, jarak usia yang terlalu jauh, dan gangguan pihak ketiga.
Tingginya angka perceraian yang diminta oleh istri karena perempuan semakin pintar, semakin mapan, dilindungi oleh berbagai UU, dan semakin sadar akan perlunya menyuarakan kesetaraan gender dan hak-haknya, dan tentunya tidak terlepas dari faktor-faktor lainnya.
Untuk itu, dimohon oleh ayah, ibu, dan penghulu saat khutbah nikah: jika satu pihak membawa api, yang satu lagi harus menyiram air.
Riuh dan ribut dengan takaran tertentu, dalam mengayuh rumah tangga itu, kayak sendok dan gelas, seperti belanga (beulangong) dan irus (aweuek), semacam garam penyedap menu yang sering dan kadang perlu.
Fluktuasi angka inflasi di ibukota, seperti Banda Aceh, membuat harga barang meninggi. Uang di dompet terasa tak bernilai. Fulus hari ini boleh banyak, esok sudah ludes. Biaya hidup di Aceh kian tinggi. Harga emas naik terus, terus naik. Memang emas mahal akibat kurs dollar AS melemah. Juga karena faktor kekuatan ekonomi global.
Satu mayam emas ke depan memang hampir dua juta rupiah. Angka segini, dua dasawarsa yang lalu, sudah memadai untuk meminang anak orang, dan pulang ke rumah mertua--jika mahar yang disepakati tak terlalu tinggi--lengkap dengan kenduri. Lowongan kerja di kantor pemerintah kian sempit, apalagi diisukan dengan moratorium PNS itu. Honorer yang lama antrean itu, kini lebih diutamakan. Lantas apakah gara-gara semua itu, Anda ikut menunda nikah?
Wahai pemuda Aceh yang beriman, jangan tunda nikah, dengan rekan kantor atau pilihan mama. Dengan nikah, Allah menjamin rezeki akan melimpah ruah. Kalau kita lebih ulet, hemat, sederhana, bangun subuh lebih pagi, dan tidak banyak tidur lagi. Jika kita memang yakin Allah itu Maha Kaya, Kecuali bagi siapa pun yang telanjur menyempitkan makna rezeki.
Wahai pemuda Aceh, jika sudah mampu, nikahlah. Bulan haji atau bulan depan, tapi tentukan tahunnya. Titah ini perintah Allah dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Rasul dan ambiya’ Allah itu, rata-rata menikah di usia muda, dan beranak cucu pula. Ulama juga begitu.
Harga emas selangit, mahar tinggi di Aceh, akan menghambat pemuda Aceh menikah. Mari kita bergotong-royong membantu mahar nikah itu. Jangan pula tunda nikah gara-gara belum sanggup walimah. Apa lagi buat pesta yang di dalamnya setan ikut menari. Walimah yang melangkahi sunah yang disenangi setan, adalah yang diiringi musik setan; ada judi, khalwat; dan khamar; yang meja makan dijaga wanita telanjang; yang hanya mengundang orang kenyang; sedangkan anak yatim dilupakan; mubazir; yang masam muka saat undangan datang beramplop tipis; atau kesal dengan hari mendung dan hujan; lupa shalat; serta pesta yang punya target akan pulang modal. Jika ingin untung, mari berdagang saja, bukan lewat walimah. Pesta pun dipilih tanggal muda, diundang banyak yang kaya, yang papa sebelah mata, didekati pawang hujan dan cari wangsit segala, seperti nikah juga di ‘hari keramat’.
Tidak cuma artis dan anak pejabat, orang kampung kita, tetangga di kota pun ramai-ramai percaya ‘hari sakti’ dan menikah di pagi ‘hari keramat’ itu. Baik pasangan yang nikah setelah ‘kawin’, maupun bagi yang akad nikah duluan, baru malamnya ‘kawin’, baru berbulan madu yang diimpikan orang, yang aduhai indahnya itu. Karena entah mitos atau kebetulan, tidak heran, dulu ramai juga yang ijab kabul pada 9 September 2009 (09-09-09). Lalu ramai yang dinikahkan KUA Kecamatan pada 10 Oktober 2010 (10-10-10).
Usai musim haji 1432 H ini, ramai juga yang memilih menikahkan perawan-jejaka, perawan-duda, janda-duda, atau janda-jejaka, tepat Jumat 11 November 2011 (11-11-11). Pun demikian, bagi pasangan yang kebetulan nikah hari itu, maupun yang sengaja memilih tanggal itu, juga buat yang sudah beranak cucu, atau belum punya, kita doakan semoga pernikahan semua kekal, dalam bingkai sakinah mawaddah wa rahmah, amin.
Penulis: Muhammad Yakub Yahya (staf Hukmas KUB Kanwil Kemenag Aceh.)
Sumber : Serambi Indonesia
0 comments:
Post a Comment