November 17, 2011

Demokrasi Berbasis Integrasi

BERBAGAI opini dan argumentasi beredar di masyarakat, sebuah diskursus yang memisahkan permasalahan demokrasi dan transisi politik Aceh hari ini dalam bentuk integrasi politik yang sedang berjalan. Satu sisi perspektif demokrasi liberal yang menuntut adanya kebebasan yang sebebas-bebasnya di Aceh harus dilaksanakan, di sisi lain, perspektif demokrasi yang disepakati agar berjalan dalam koridor resolusi konflik itu sendiri. Inilah dua diskursus yang berkembang di Aceh, mari kita cermati di mana posisi kita dan apa masalahnya?

Integrasi politik atau dalam istilah lainnya reintegrasi politik terjadi sejak MoU Helsinki ditandatangani. Proses transisi dan transformasi Aceh berjalan sejak 2005 hingga saat ini. Berbagai liku-liku dan tantangan kita hadapi. Transisi ini tidak dapat kita lihat secara normatif saja, namun membutuhkan sentuhan hati dan pikiran yang cukup memeras energi. Meskipun di luar kesadaran kita, perjalanan Aceh ini masih panjang dan membutuhkan kekuatan dari kita semua, tantangan konsolidasi rakyat Aceh semakin melemah di sinilah membutuhkan kerjasama kita untuk menyatukan kembali kekuatan rakyat Aceh demi “kepentingan nasional Aceh” jangka panjang, bukan kepentingan pribadi (Tengku Malik Mahmud Alhaytar, 2011).

Transformasi dan transisi Aceh berjalan pasca MoU Helsinki ditandatangani. Sebulan pasca ditandatangani perjanjian, Pemerintah Pusat menyiapkan regulasi (Kepres No 15 Tahun 2005) dan setahun selanjutnya lahirlah UUPA (No 11 Tahun 2006) maka setahun kemudian lahirlah PP tentang Partai Lokal (PP No 20 tahun 2007). Di tahun yang sama, Partai Aceh lahir sebagai transformasi dari GAM dan Rakyat Aceh dan menjadi manifestasi dengan implementasi MoU Helsinki itu sendiri (Pasal 1.2.2) yang juga ditemani dengan 5 partai lokal lainnya. Secara demokrasi, hanya PA yang berlanjut pada kompetisi selanjutnya (48,78 persen), sementara partai lokal lainnya (di bawah 2 persen) harus kandas di gerbang 2009 (Pasal 90 UUPA).

Transformasi terus berjalan, kompetisi politik selanjutnya adalah Partai Nasional vis a vis Partai Lokal. Itulah catatan politis di baliknya lahirnya Pasal 256 UUPA yang hanya mengakomodir Independen hanya sekali. Secara sosiologis, karena kondisi alternatif pada saat itu, bahwa partai politik lokal belum lahir, regulasi belum disiapkan dan aturan main politik belum selesai, maka lahirlah independen yang hanya sekali diberikan, sebagai alternatif proses transisi demokrasi yang pada saat itu menunggu lahirnya instrumen demokrasi substantif dan prosedural yang sebenarnya (Guillermo A. O’Donnell, 1986 dan David Held, 2006) yaitu di Aceh adanya partai politik lokal sebagai kekhususan Aceh.

Oleh karena itu, dalam pemerintahan yang berjalan (2006-2011) adalah pemerintahan transisi dalam proses integrasi politik itu sendiri. Partai politik baik lokal maupun nasional adalah insfrastruktur politik yang merupakan instrumen demokrasi yang disepakati untuk membangun Pemerintahan Rakyat Aceh yang tercatat dalam konsideran MoU Helsinki. Lahirnya Partai Lokal dalam perjanjian menjadi alot di Helsinki hingga perjanjian “hampir gagal” ditandatangani (Farid Husein, 2007). Inilah demokrasi berbasis resolusi perjanjian yang disepakati.

Tahun 2010, lahirlah kesempatan yang menghapuskan batasan independen hanya sekali. Bahkan mengklaim kepada publik bahwa kelompok yang menentang independen adalah anti terhadap demokrasi. Mereka menuntut demokrasi sebebas-bebasnya di Aceh (liberal democracy). Inilah sebuah kecacatan sejarah di luar kesepakatan keduabelah pihak ketika kepercayaan sedang dibangun dalam bermusyawarah. Pertanyaan selanjutnya, dimanakah etika dan moralitas politik pada saat itu, jika atas dalil yang “berkedok demokrasi”, independen menjadi justifikasi adanya ruang kebebasan, ruang politik yang terbuka yang dibutuhkan kembali oleh Aceh.

Pantaskah kita menerimanya di saat perjanjian di awal telah disepakati dan proses integrasi politik ini belum selesai? Dan pada akhirnya menafikan kekhususan Aceh, dan menafikan sebuah kesepakatan yang telah ditandatangani. Inilah gejala pengingkaran terhadap harga diri dan martabat rakyat Aceh yang dipertaruhkan. Demokrasi sesuai kesepakatan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari “Demokrasi Aceh” itu sendiri, yaitu demokrasi berdasarkan musyawarah, bukan berdasarkan keinginan dan kebebasan individual.

Wajar saja PA dan rakyat tidak berdiam diri untuk membiarkan semua terjadi. Cukup kegagalan Lamteh (1962) yang sudah disepakati, dan cukup sudah ratusan lembar surat lainnya yang sudah ditandatangani oleh Pemerintah Transisi saat ini melalui perjanjian di luar koridor UUPA (tahun 2006-2011), kita hanya membutuhkan kejujuran dan keikhlasan terhadap perjanjian itu.

Di sisi lain, rasanya tidak fair kita katakan bahwa konflik yang terjadi bukanlah konflik regulasi namun konflik antara Partai Aceh dan Irwandi Yusuf yang berasal dari rahim GAM. PA tidak melihat Irwandi sebagai subjek tunggal, PA melawan bentuk konspirasi aktor pemerintah antara Irwandi dan Muhammad Nazar (incumbent) sebagai institusi formal yang masuk dalam sistem pemerintah Aceh, dengan wewenang dan kekuasaannya untuk mengingkari UUPA itu sendiri. Bahkan tidak fair jika PA diposisikan sebagai vis a vis dengan Irwandi Yusuf sebagai persoalan masa lalu (2006) yang terus berlanjut. Kami nilai permasalahan ini sudah usang, dan tidak relevan diperdebatkan seakan-akan ada dua kubu yang bertarung.

Jika semua pihak sepakat, putusan MK akhirnya menjadi awal dari kekisruhan politik di Aceh. Kita juga tak dapat menafikan, jika pemohon di MK (Tami Anshar Mohd Nur, Faurizal, Zainuddin Salam, Hasbi Baday) saat itu yang menyatakan diri telah terlanggar hak konstitusionalnya, pada akhirnya tidak mendaftarkan diri. Bukankah ini merupakan abused of democracy and constitution (penghianatan terhadap demokrasi dan konstitusi). Bahkan, tanpa Majelis Hakim MK sadari, bahwa secara sosiologis dan historis, lahirnya pasal 256 UU PA, adalah bagian dari transtitusional justice (Prof. Dr. Satya Arinanto, 2011), haruskah semua ini kita ingkari?

Integrasi politik akan setengah hati kita rasakan, jika akhirnya Pemerintah Pusat tidak mengambil langkah segera untuk mengakhiri konflik ini. MK akan jauh berwibawa dan bermartabat, jika akhirnya akan memulihkan eksistensinya melalui putusan akhir nantinya, sebagaimana Putusan Sela telah memberikan setengah kepercayaan publik di Aceh, mulai pulih terhadap MK. Demikian juga dengan Presiden akan jauh lebih bijak dan arif jika janji-janji yang diucapkan sebagai “kado istimewa” dapat direalisasikan sesuai buktinya. Mungkin waktu yang akan menjawab, karena politik perlu kesabaran dan integrasi adalah ujian dari kesabaran. PA masih terus bersabar menunggu.

Kembali kepada hati dan pikiran kita, apakah kita menginginkan demokrasi yang sebebas-bebasnya di Aceh, atau demokrasi berbasis resolusi perjanjian yang mentransformasi pada tujuan MoU Helsinki itu sendiri?

Penulis adalah Fachrur Razi (Aktivis politik PA.)

Sumber: Serambi Indonesia

0 comments:

Post a Comment

 
Web developed by Eka.aSOKA.web.id | Domain Host by aSOKAhost.com
Follow @MuehammadAdam