October 27, 2011

Demokrasi Serbasalah

"Dunia ini sanggup untuk memenuhi kebutuhan manusia,
namun tidak untuk kerakusannya (Mahatma Gandhi)"

KETIKA tembok perang diruntuhkan tahun 2005 bayangan indah sempat memukau imajinasi rakyat Aceh, bahwa perdamaian telah mengalahkan perang dan konflik dengan harapan tidak ada lagi perang dan konflik baru. Transisi politik menuju alam demokrasi terbuka lebar, perdamaian bakal megantarkan Aceh ke gerbang “akhir sejarah pahit masa silam”.

Imajinasi ini seakan pudar, takala dua lembaga pemerintahan “berkonflik”. Masalahnya pun bukan dalam hal kecil semacam debat kedai kopi selesai setelah bubar, namun lebih kepada kelangsungan politik Aceh di masa mendatang sehingga bermuara kepada terancamnya legitimasi dan demokrasi karena parlemen Aceh tidak mau terlibat dalam pelaksanaan pilkada gara-gara Jakarta melalui Mahkamah Konstitusinya mencabut salah satu pasal dalam UUPA tentang calon Independen.

Kejadian tersebut telah memunculkan kembali wacana tentang referendum untuk menuntut Jakarta, dengan dalih kalau pasal UUPA tentang calon Independen bisa dicabut dengan alasan hak demokrasi kenapa referendum tidak, padahal itu juga bagian dari demokrasi. Saat ini gerak politik Aceh sedang bergeser menuju ruang waktu masa yang megambang, ke mana transisi politik Aceh ini akan tertuju untuk sepuluh atau dua puluh tahun berikutnya. Memang dari awal sejarahnya, Aceh bukannya tidak mau berubah. Hanya saja perubahan itu jangan atas kendali dari luar, banyak terdengar protes bahwa yang tahu tentang kondisi Aceh sebenarnya adalah orang Aceh sendiri, bukan orang Jakarta.   

Cita-cita mewujudkan transisi politik yang demokratis memang pilihan yang sangat berat, pertentangan selalu muncul saat demokrasi diperjuangkan dan ditegakkan. Demokrasi tentunya tidak bisa dipaksakan. Demokrasi seperti yang disebutkan Lincoln harus berjalan sesuai tahapan-tahapannya. Sebab demokrasi diperjuangkan bukan sekadar demi efisiensi, tetapi lebih jauh dari itu ia demi sebuah pertanggungjawaban. Demokrasi dalam kehidupan manusia tidak hanya memberikan ribuan makna dan harapan, tetapi dia juga mengakibatkan ribuan penderitaan dan bencana kemanusiaan.

Kenyataannya, demokrasi kita masih tak dapat dipisahkan dengan dendam, sejarah demokrasi kita dibangun dan tumbuh dalam budaya dendam. Bila dalam periode dulu dia kalah pertarungan merebut kekuasaan, maka periode berikutnya dicari celah walaupun tidak menang namun telah terjadi perpecahan itulah realita demokrasi kita hari ini keukah bek keukei bek. Maka lahirlah teori Demokrasi boh serba salah tapajoh matee ma han tapajoh mate yah.

Permasalahan demokrasi “pilkada” di Aceh menjadi satu contoh kasus dari banyak permasalahan lain yang belum selesai, untuk itu para pengambil keputusan publik harus berhati-hati jika ingin membuka pintu demokrasi. Demokrasi yang baik bukan demokrasi yang bebas, tetapi demokrasi yang mempunyai batas. Demokrasi itu ibarat api. Api akan membakar dan merusak apa saja jika api tidak dikendalikan, tetapi api akan sangat bermanfaat bagi semua orang jika api (demokrasi) dikelola secara bijaksana.

Almarhum Nurcholis Madjid, memopulerkan sebuah istilah baru yaitu go politics! yang mengacu kepada kegiatan untuk memasuki proses, mekanisme, lembaga dan sistem politik. Istilah tersebut diberikan tanda seru (!), karena go politics! yang mereka maksud tidak sekadar istilah tetapi juga seruan untuk segera dilakukan. Go politics! bagi aktor pro-demokrasi diharapkan tidak sekadar ‘kekuasaan’, tetapi menjadi pintu perubahan. ‘Berhenti menjadi pengemis!’ tidak dimaksudkan menuju pada kemapanan, namun saatnya berhenti berharap perubahan datang dari orang lain. Perubahan harus diperjuangan oleh aktor pro-demokrasi sendiri, gerakan sosial yang selama ini dibangun harus direpolitisasi. Agenda politik harus memberi perubahan yang signifikan dan substansi, kalau para aktor pro-demokrasi belum berani go politics! maka jangan berharap terlalu banyak, lebih baik bersabar atau jangan bermimpi ada perubahan yang lebih baik. Karena itu bila sekarang tidak menyatakan go politics! maka lebih baik ucapkan ‘selamat tinggal perubahan!’.

Siapa benar, siapa salah?
Shabbir Banoobhai mengatakan “Kebenaran mustahil musnah, Jawaban Tuhan bagi penindasan tak pernah berubah”. Dalam konteks Aceh hari ini, sesama Aceh bukan mencari kesalahan apalagi memprediksikan kalah menang karena yang salah dan kalah adalah kehancuran. Sekarang juga bukan masanya politik bloe siploh publoe sikureung lam ruweung mita laba, bukan juga boh jok boh beulangan watei troeh taboh nan tapi sesuatu yang menyangkut tentang politik Aceh hari ini harus jelas sebagai kelanjutan proses perdamaian yang telah disepakati, tidak ada istilah bloe miei lam umpang, karena salah mengambil langkah politik kita akan dicaci maki oleh generasi Aceh masa yang akan datang. Aceh tidak pernah kalah dalam peperangan, tetapi kalah di kala masuk arena politik. Sejarah telah memberikan kita pengalaman bahwa kekalahan politik disebabkan apabila ada orang Aceh rakus kekuasaan serta bisa diadu domba.

Perjalanan 30 tahun Aceh dari masa perang ke perdamaian masih harus dilihat dalam konteks yang lebih luas dari transformasi luar biasa dalam politik, dalam dimensi demokratisasi, pengaruh militer menurun drastis dalam berbagai politik sipil dan transisi GAM dari kaum “pemberontak” yang memimpin menjadi politikus. Bagaimanapun, gelombang perubahan melanda Aceh yang membawa perdamaian bisa bertahan secara lebih lama. Ayatullah Khomeini mengatakan, “Saya sungguh-sungguh berharap, bahwa evolusi manusia akan mencapai suatu tingkat kematangan, sehingga ia menjelmakan senapan-senapan mesin menjadi pena-pena. Karena pena dan ilmu pengetahuan telah melayani kemanusiaan, sedangkan senapan mesin tidak”. Ingat dalam politik tidak ada musuh yang kekal, yang ada hanya kepentingan.


Kepentingan Aceh harus menghormati jalur kesepakatan MoU Helsingki supaya Aceh tidak masuk dalam lubang penipuan yang kesekian kali dan perdamaian tetap utuh terjaga. Semangat Aceh baru ini sangat penting untuk ditransformasikan agar tidak mengulangi kesalahan sejarah mengusir “musuh” tapi memelihara “tabiatnya”, seperti mengusir Belanda tapi mengambil tabiatnya. Kalau ini terjadi, maka yang berubah hanyalah poster penguasa Aceh, bukan substansi dasarnya.

Sumber : Serambi Indonesia
Oleh : Alfian Lukman
* Penulis adalah Dosen Ilmu Politik Universitas Malikussaleh

0 comments:

Post a Comment

 
Web developed by Eka.aSOKA.web.id | Domain Host by aSOKAhost.com
Follow @MuehammadAdam