August 25, 2011

In Memoriam Hasballah M Saad

JANJI Allah terhadap apa yang akan dialami oleh setiap makhluk yang bernyawa, akhirnya datang juga kepada Dr Hasballah M Saad. Setelah sekian lama singgah di bumi ciptaan Allah ini, Pak Hasballah, demikian banyak orang memanggil namanya, berangkat ke alam lain, ke alam baka, kekal di sana selama-lamanya. Ragam cara berbagai pihak menyampaikan duka juga mungkin dapat kita di HP kita masing-masing, atau di akun facebook, seperti akun saya.

Di subuh hari Pak Hasballah meninggal seuntai puisi masuk ke HP saya. Di jalan layang/di kabut yang berenang/Aku melihat senyummu mengambang/Kumis dan jambangmu masih berwarna terang/Seterang cahaya matamu ketika dulu kita bersalaman. Agaknya, Deknong Kemalawati, menulis puisi itu di dalam taksi saat meluncur ke Cengkareng untuk pulang ke Banda Aceh. Saya kutip baris terakhirnya, Kini kau pergi/Aku melepas bayangmu bersama puisi/ke jalan Ilahi yang tak pernah sepi.

Siang pada hari yang sama itu, sesaat mendarat di Cengkareng, Jakarta, sebait puisi lain masuk ke HP saya. Penulisnya adalah seorang pengusaha, pernah aktif di parpol, dan sahabat dekat Pak Hasballah. Puisinya diberi judul “Kepergian:” Kendati dia telah pergi/tapi dia tak pernah mati. Memang hanya dua baris, namun penuh makna.

Pak Hasballah, adalah tak aneh juga banyak di antara kami yang bersedih dan menangisi kepergianmu. Anda adalah pribadi yang bertuah; orang merasa kehilangan dalam ketiadaan Anda. Mungkin tak banyak di antara kami mendapat kondisi seperti itu. Jangan-jangan, kami adalah orang yang dalam keberadaan kami, membuat orang lain sakit atau sebuah bencana. Jika hadir dalam suatu jamaah, mungkin saja para jamaah berdoa semoga kami segera saja pergi dari jamaah itu. Mungkin kami, ketika dalam ketiadaan kami, orang-orang bahkan tak bertanya sama sekali mengapa kami tak ada, dan ketika kami tiada, orang-orang pun berjingkrak gembira.

Tapi Anda, Pak Hasballah, orang tua kami, guru kami, tidaklah demikian adanya. Kami bertanya ketika Anda masih ada, tapi tak ada bersama kami, apatah lagi dalam ketiadaan Anda selama-lamanya di sekitar kami, kami sungguh-sungguh merasa kehilangan. Perkenalan denganmu sungguh-sungguh indah.

Suatu hari beberapa minggu setelah beliau diangkat menjadi Menteri Negara HAM oleh Gus Dur tahun 1999, saya lupa bulan berapa, saya menerima telepon dari seseorang. “Pak Menteri mau bicara dengan Pak Saifuddin” kata penelepon sambil menambahkan bahwa semenit lagi Pak Menteri langsung bicara dari ujung lain. Saya bingung; kok ada menteri yang mau bicara dengan saya? Memangnya apa? Aneh.

“Saifuddin, pue haba (apa kabar)? Lon tuan (saya) Hasballah, teungoh (sedang) di Jakarta.” Saya sungguh tak menduga sebelumnya bahwa Pak Menteri itu adalah Pak Hasballah, tapi untung saja beliau tak menyebut jabatannya sebagai menteri, sebab saya sudah tahu. Singkatnya, beliau mengajak saya membantu beliau di Kementerian Hukum dan HAM di Jakarta. “Saya butuh Anda. Tapi terus terang saya tak bisa memberi materi apa pun selama di Jakarta. Anda harus sewa rumah, hidup dengan gaji PNS. Paling hanya sedikit tambahan saja, yang saya tak tahu nanti saya ambil dari mana.” Dengan mempertimbangkan bahwa saya sedang menjalankan roda organisasi Forum Peduli HAM/Yayasan Peduli HAM, di mana saya menjabat sebagai direktur eksekutif, dan Pak Hasballah adalah salah satu inisiator pendiriannya, saya dengan halus menolak ajakan Pak Menteri, Pak Hasballah.

Sebagaimana yang sudah sangat sering ditunjukkannya, Pak Hasballah adalah sosok yang hangat, dan terbuka, dan juga direct, serta bersahaja. Ketika saya menolak ke Jakarta dengan alasan di atas, beliau ternyata sangat memahaminya. “Saya tak ingin memerintah Saifuddin. Saya hanya seorang Hasballah M Saad. Saya yakin, bahwa putusan Saifuddin adalah putusan yang baik. Saya hormat dan memahami,” yang membuat saya malu hati mendengarnya atas penghormatan yang beliau tawarkan. Saat beliau pergi ke hadhirat Ilahi, ada sesal mendalam hati saya, sekiranya penolakan itu membuat beliau kecewa.

Bagi saya, Pak Hasballah terasa dekat karena beliau juga mengenal orang tua saya, dan juga mertua saya. Setiap bertemu, kalimat apa kabar umi (mama saya), salam saya kepada umi, kerap terdengar, dan diucapkannya dengan sungguh, menatap mata saya. Hal yang sama juga beliau lakukan terhadap adik ibu mertua saya, yang suaminya (Drs Mahmud Madjid) adalah sahabat dekat beliau semasa di FKIP, telah mendahului Pak Hasballah belasan tahun lalu. Setiap kali bertemu, beliau selalu menyampaikan salam kepada makcek saya itu, dan mendoakan semoga makcek saya dalam keadaan sehat selalu.

Hidup seseorang ibarat bulan, selalu ada sisi yang terang dan sisi yang tidak terang. Setiap kita pun hidup secara demikian. Tak pernah kita bisa membuat semua orang gembira, namun juga tak pernah kita membuat semua orang bersedih. Hidup penuh dengan duka dan suka. Hidup penuh dengan berbagai warna, yang mungkin kita tak pernah tahu warna apa saja yang menempel pada kehidupan kita. Bagi sahabat-sahabat seumur beliau, Pak Hasballah adalah pribadi yang hangat, pribadi yang peduli. Bagi mahasiswa yang pernah diajarinya, Pak Hasballah adalah sosok yang sangat bertanggung jawab, sampai kemudian kondisi politik membuat beberapa hal menjadi tak jelas, termasuk tuduhan bahwa beliau adalah pendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada saat itu. Tuduhan ini membuat beliau harus pergi meninggalkan Aceh, menuju Jakarta.

Bagi mereka di Pidie, para dosen, mahasiswa Jabal Ghafur, dan masyarakat di sana, Anda adalah sebuah lampu penerang. Tetapi Allah berkehendak lain, sinar lampu redup bersama kepergianmu.

Bagi kami-kami yang muda, Pak Hasballah adalah inspirator, sosok yang memompa semangat, dan menunjukkan bahwa dalam kegiatan kami memajukan HAM, mendorong solusi damai untuk Aceh, beliau selalu datang memberikan dukungan-dukungan dalam bentuk pemikiran-pemikiran, dan mungkin juga dalam bentuk-bentuk lain yang saya tak pernah tahu. Di tengah banyaknya pesimisnya saat Pak Hasballah menerima jabatan Meneg HAM, kami yang muda-muda saat itu, merasa senang bahwa ureung Aceh nyou bisa menjabat sebagai Meneg HAM. Harapan yang kami gantungkan kepada Pak Hasballah, terhadap akan adanya perubahan dalam penanganan kasus-kasus HAM memang tak tersahuti pada level yang menggembirakan. Bahkan sampai saat ini pun, setelah tiga menteri lain ditunjuk sebagai Menteri Hukum dan HAM, kasus-kasus HAM Aceh tetap tak terselesaikan. Karena itu, menurut saya, keadaan yang berlaku pada masa beliau itu tak sepenuhnya harus diletakkan di pundak beliau.

Pertemuan saya yang terakhir dan sempat bersalaman dan bertukar kata dengan Pak Hasballah terjadi saat saya menjadi pembicara tunggal dalam peluncuran buku Mendekap Damai Aceh: To See The Reality, karangan Mahyuddin Mahmud Adan di Gedung Sultan Salim II pada 27 Juli lalu. Sehabis saya berpidato, beliau naik ke panggung, menyalami saya. Beliau saat itu sempat bicara tentang tuduhan-tuduhan kepada beliau, sebagaimana saya sebutkan di atas. Kepada saya beliau berpesan, “Teruskan Saifuddin. Anda memang harus bicara terus mengenai HAM, mengenai keadilan.” Itu adalah pesan terakhirnya kepada saya.

Selamat jalan Pak Hasballah. Insya Allah Anda terkenal bukan karena banyaknya teman, melainkan karena banyaknya amal ibadah dan kebaikan-kebaikan Anda kepada sesama.

* Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum, Unsyiah.

Sumber: Serambi Indonesia 
Kamis, 25 Agustus 2011

0 comments:

Post a Comment

 
Web developed by Eka.aSOKA.web.id | Domain Host by aSOKAhost.com
Follow @MuehammadAdam