August 24, 2011

Belajar Toleransi di Baiturahman

BANYAK orang mengatakan: orang Aceh itu berfikir tertutup terlebih terkait soal agama. Tapi beberapa hari yang lalu, saya menemukan fakta lain. Malam itu, saya shalat tarawih di masjid Baiturrahman. Ini kali pertama saya berkunjung ke kota Banda Aceh. Sehingga tak mau melewatkan beribadah di masjid yang tetap kokoh berdiri di tengah tsunami 2004 silam.

Di Indonesia, umumnya jumlah shalat tarawih sebanyak sepuluh dan delapan rakaat. Di wilayah pedesaan Aceh, khususnya Aceh Utara, jumlah rakaat tarawih biasanya dua puluh rakaat. Mereka (masyarakat desa) percaya bahwa dua puluh rakaat adalah jumlah rakaat yang paling tepat dalam syariat Islam. Tapi tulisan ini tidak akan memperdebatkan persoalan itu. Saya lebih tertarik membahas hal yang menyatukan perbedaan itu dengan menjadikan Masjid Baiturahman sebagai tonggaknya.

Di Baiturahman, cermin toleransi atas perbedan pandangan dalam hal shalat tarawih misalnya, cukup baik. Di masjid ini, jamaah difasilitasi shalat baik delapan maupun dua puluh rakaat. Pertama (sebut saja kelompok pertama), sholat diadakan sebanyak delapan rakaat kemudian dilanjutkan dengan sholat witir. Setelah itu, bagi yang ingin sholat dua puluh rakaat keluar dari shaf dan mundur ke belakang. Kedua (kita sebut kelompok dua), setelah bagian pertama selesai sholat witir, jamaah yang ingin melanjutkan rakaat tarawehnya kembali merapikan shaf untuk selanjutnya solat taraweh dengan imam yang berbeda.

Dengan cara seperti itu, mesjid ini dapat mengakomodir seluruh kalangan. Dalam pelaksanaannya pun terlihat sikap saling menghargai di antara sesama jamaah. Saat kelompok pertama melaksanakan shalat, kelompok kedua dengan tenang menunggu. Ada yang keluar ruangan, ada pula yang memilih mundur ke belakang dan membentuk barisan yang cukup rapi.

Seruan toleransi juga dikuatkan dengan salah satu isi dakwah yang disampaikan oleh penceramah malam itu. “Islam sangat menghargai perbedaan. Selama yang berbeda itu tidak menebarkan permusuhan. Islam sangat menganjurkan perdamaian,” Begitu kata penceramah malam itu seraya mengutip salah satu bunyi ayat dalam dalam Alquran.

Bagi sebagian orang, mungkin ini terlihat sederhana. Tapi tidak bagi saya. Sebelumnya, saya belum pernah menyaksikan cara yang seperti ini di tempat atau masjid lainnya. Bahkan, di beberapa masjid yang pernah saya kunjungi di Jakarta.

Jika ditarik ke konteks pendidikan, metode yang diberlakukan di Baiturahman ini bisa menjadi media pembelajaran, minimal bagi seluruh jamaah yang biasa beribadah di masjid ini. Secara langsung dan tidak langsung, jamaah menginternalisasi spirit toleransi yang nantinya akan dieksternalisasi melalui kebiasaan sehari-hari.

Masjid sebagai media efektif dalam mengampanyekan sikap toleransi juga terlihat di beberapa tempat lain. Di Lombok, ada satu masjid bernama Jami’ul Jamaah. Masjid ini dibangun oleh tiga kelompok masyarakat pemeluk agama yang ada di wilayah itu, yaitu masyarakat Muslim, Hindu, dan Budha. Masjid ini menjadi ikon kerukunan atas perbedaan di antara ketiganya. Di Bandung, ada Masjid Salman. Selama dekade 1970-an hingga 1990-an, aneka warna pemikiran Islam leluasa dipercakapkan dan tumbuh di area Salman seluas 7500 meter persegi. Di New York, ada Masjid Al-Hikmah. Masjid ini adalah pusat kegiatan masyarakat Indonesia Muslim di New York. Selain orang Indonesia, masjid ini juga menjadi tempat favorit bagi orang-orang non-Indonesia, misalnya Bangladesh.

Persoalan perdamaian ini semakin menemukan momentumnya karena hari itu bertepatan dengan peringatan enam tahun MoU Helsinki yang jatuh pada 15 Agustus 2011. Beraneka macam acara pun digelar seperti buka puasa bersama dan donor darah. Barangkali ini cara masyarakat mensyukuri nikmat perdamaian yang telah dianugerahkan yang Maha Kuasa.

Semakin hari-paling tidak pasca konflik-Aceh terus berbenah diri. Toleransi, sikap saling menghargai, dan menjaga perdamaian demi keutuhan dalam bingkai kesatuan republik Indonesia semakin gencar digaungkan. Seluruh elemen mengharapkan adanya sikap saling menghargai di atas segala perbedaan. Tidak ada lagi pertentangan apalagi peperangan, terlebih hanya karena persoalan perbedaan pandangan. Bahkan Tengku Hasan Ditiro--salah satu petinggi GAM--dalam sebuah pidatonya (2009) menegaskan “kebebasan dan perdamaian yang menyeluruh di Aceh sekarang ini adalah merupakan nikmat yang telah diberikan Allah kepada Aceh.”

Apalagi orang Aceh dikenal dengan religiusitasnya yang tinggi di mana mesjid menjadi simbol kemuliaan. Dengan begitu, kita berharap banyak orang yang mengambil pelajaran berharga dari Masjid Raya Baiturrahman, khususnya terkait soal toleransi dalam berfikir dan menyikapi segala hal.
 
Oleh Milastri Muzakkar
* Penulis adalah Pengajar Muda Aceh Utara, Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar, Jakarta.
 Serambi Indonesia, Rabu, 24 Agustus 2011

0 comments:

Post a Comment

 
Web developed by Eka.aSOKA.web.id | Domain Host by aSOKAhost.com
Follow @MuehammadAdam