Dalam rangka mempe ringati Hari Pendidik an Nasional 2 Mei 2012, Majelis Pengurus Pusat Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) bersama Universitas Indonesia (UI) akan menyelenggarakan sarasehan pendidikan pada Senin, 7 Mei 2012, di Kam pus UI Depok. Tema yang diangkat ialah “Pandangan Tokoh Tentang Pendidikan Tinggi Indonesia”.
Dalam konteks ini, RUU Pendidikan Tinggi (PT) yang menjadi hak inisiatif DPR RI telah dilakukan pembahasan secara intens dengan berbagai kalangan.
Sebagaimana lazimnya dalam pembahasan RUU terdapat pro-kontra. Namun, disayangkan akhirnya pembahasan meng alami kebuntuan sehingga peme rintah meminta penundaan pengesahan RUU tersebut pada sidang paripurna DPR RI tanggal 12 April 2012.
Terlepas dari ketidaksetujuan pemerintah terhadap RUU tersebut, menurut hemat saya, setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk dipertim bangkan. Pertama, secara filosofis RUU tersebut harus memuat arah yang jelas tentang pengembangan PT, baik dalam aspek keilmuan, keterampilan, maupun penguatan terhadap karakter bangsa di mana segenap komponen bangsa te ngah membutuhkan penguatan nilainilai moral bangsa yang akhir-akhir ini mengalami degradasi.
Kedua, secara sosiologis, masyarakat Indonesia sangat membutuhkan PT karena sampai saat ini yang dapat menik mati nya masih sedikit. Ironisnya, sejumlah PT menghasilkan pengangguran terdi dik, yakni seseorang yang telah lulus da ri perguruan tinggi negeri atau swasta dan ingin mendapat pekerjaan, tetapi belum dapat memperolehnya. Para pe ngang gur terdidik biasanya dari kelompok masya rakat menengah ke atas, yang memung kin kan adanya jaminan kelangsungan hi dup meski menganggur.
Pengangguran terdidik sangat ber
kait an dengan tidak relevannya sumber daya manusia (SDM) yang dihasilkan dunia pendidikan di negara berkembang pada umumnya, antara lain berkisar pa da masalah mutu pendidikan, kesiapan tenaga pendidik, fasilitas, dan ku rang nya lapangan pekerjaan. Dalam ma sya rakat yang tengah berkembang, pendidikan diposisikan sebagai sarana untuk peningkatan kesejahteraan mela lui pemanfatan kesempatan kerja yang ada.
Sebenarnya, gelar sarjana tak otomatis memuluskan jalan meraih pekerjaan.
Jumlah pengangguran tingkat sarjana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Misalnya pada 2007, jumlahnya sekitar 740 ribu dan awal 2009 ber tambah mendekati angka satu juta sarjana yang menganggur. Hal ini harus diwaspadai mengingat setiap tahunnya Indonesia memproduksi sekitar 300 ribu sarjana dari 2.900 PT.
Menurut hemat saya, makin banyak nya sarjana yang menganggur disebab kan oleh rendahnya keterampilan (soft skill) di luar kemampuan utama dari sar jana yang bersangkutan. Untuk meng atasi pengangguran, perlu dikembangkan komitmen kewirausahaan.
M eningkatnya pengangguran terdi dik menjadi sinyal yang cukup mengganggu bagi perencana pendidikan di negara-negara berkembang pada umumnya, khususnya di Indonesia. Untuk makmur, Indonesia perlu meningkatkan jumlah pengusaha menjadi 1,1 persen atau menjadi 4,4 juta orang.
Ketiga, secara konstitusional berkait an dengan pembahasan RUU PT perlu pertimbangan memuat substansi yang berkaitan dengan sejumlah pasal dalam RUU tersebut.
Pertama, dalam RUU PT perlu diatur mengenai orientasi kelulusan pendidikan tinggi. Kedua, RUU PT perlu memberi kan peluang dan keleluasaan pada pe nyelenggara PT untuk membuka jurusan yang sesuai dengan potensi lingkungan dan SDM di lingkungannya. Hal ini pen ting sehingga PT memiliki relevansi
dengan kebutuhan masyarakat.
Ketiga, RUU PT perlu menegaskan semangat UUD 1945 dan UU No 20 Ta hun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenai kewajiban pendidik an tinggi untuk menerima dan memberi kan fasilitas pada warga negara yang kurang mampu sekurang-kurangnya 20 persen dari jumlah seluruh mahasiswa.
Keempat, dalam pasal 10 ayat 1 me nge nai rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi perlu penambahan kata ‘akar’ sehingga bunyi pasal 10 ayat 1 menjadi: Pasal 10 1 Rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan kumpulan sejumlah akar, pohon, cabang, dan ranting ilmu pengetahuan yang berkembang secara alami dan disusun secara sistematis.
Selanjutnya, dalam penjelasan pasal 10 ayat 1 perlu ditambahkan kalimat, “Yang dimaksud akar dalam ayat ini, meliputi agama, ideologi Pancasila, dan filsafat.” Kelima, pada pasal 44 ayat 2 perlu di tambahkan kalimat, “mengandung unsur Suku Antar Ras Agama (SARA)” sebelum frasa “bersifat rahasia” dan penambahan kata “dapat” sebelum kata “mengganggu” sehingga selengkapnya berbunyi, “Hasil penelitian wajib disebarluaskan dengan cara diseminarkan, dipublikasikan dan/atau dipatenkan oleh perguruan tinggi, kecuali hasil pe ne litian yang mengandung unsur Suku Antar Ras Agama (SARA), bersifat raha sia, dapat mengganggu, dan/atau membahayakan kepentingan umum.” Keenam, dalam RUU terdapat pasal 89 ayat 1 yang menyatakan bahwa perguruan tinggi negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wila yah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Saya kurang se pendapat dengan pasal 89 sehingga mengusulkan untuk dihapuskan. Karena, pihak asing dalam mengelola pendidikan di Indonesia akan mengintervensi ke daulatan NKRI. Dengan demikian, cepat atau lambat rasa nasionalime kebang sa an anak bangsa kita akan hilang.
Tulisan diatas adalah Opini AMIRSYAH Sekretaris Departemen Pendidikan MPP ICMI. Tulisan ini sudah dimuat di Harian Republika edisi 3 Mei 2012.
Dalam konteks ini, RUU Pendidikan Tinggi (PT) yang menjadi hak inisiatif DPR RI telah dilakukan pembahasan secara intens dengan berbagai kalangan.
Sebagaimana lazimnya dalam pembahasan RUU terdapat pro-kontra. Namun, disayangkan akhirnya pembahasan meng alami kebuntuan sehingga peme rintah meminta penundaan pengesahan RUU tersebut pada sidang paripurna DPR RI tanggal 12 April 2012.
Terlepas dari ketidaksetujuan pemerintah terhadap RUU tersebut, menurut hemat saya, setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk dipertim bangkan. Pertama, secara filosofis RUU tersebut harus memuat arah yang jelas tentang pengembangan PT, baik dalam aspek keilmuan, keterampilan, maupun penguatan terhadap karakter bangsa di mana segenap komponen bangsa te ngah membutuhkan penguatan nilainilai moral bangsa yang akhir-akhir ini mengalami degradasi.
Kedua, secara sosiologis, masyarakat Indonesia sangat membutuhkan PT karena sampai saat ini yang dapat menik mati nya masih sedikit. Ironisnya, sejumlah PT menghasilkan pengangguran terdi dik, yakni seseorang yang telah lulus da ri perguruan tinggi negeri atau swasta dan ingin mendapat pekerjaan, tetapi belum dapat memperolehnya. Para pe ngang gur terdidik biasanya dari kelompok masya rakat menengah ke atas, yang memung kin kan adanya jaminan kelangsungan hi dup meski menganggur.
Pengangguran terdidik sangat ber
kait an dengan tidak relevannya sumber daya manusia (SDM) yang dihasilkan dunia pendidikan di negara berkembang pada umumnya, antara lain berkisar pa da masalah mutu pendidikan, kesiapan tenaga pendidik, fasilitas, dan ku rang nya lapangan pekerjaan. Dalam ma sya rakat yang tengah berkembang, pendidikan diposisikan sebagai sarana untuk peningkatan kesejahteraan mela lui pemanfatan kesempatan kerja yang ada.
Sebenarnya, gelar sarjana tak otomatis memuluskan jalan meraih pekerjaan.
Jumlah pengangguran tingkat sarjana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Misalnya pada 2007, jumlahnya sekitar 740 ribu dan awal 2009 ber tambah mendekati angka satu juta sarjana yang menganggur. Hal ini harus diwaspadai mengingat setiap tahunnya Indonesia memproduksi sekitar 300 ribu sarjana dari 2.900 PT.
Menurut hemat saya, makin banyak nya sarjana yang menganggur disebab kan oleh rendahnya keterampilan (soft skill) di luar kemampuan utama dari sar jana yang bersangkutan. Untuk meng atasi pengangguran, perlu dikembangkan komitmen kewirausahaan.
M eningkatnya pengangguran terdi dik menjadi sinyal yang cukup mengganggu bagi perencana pendidikan di negara-negara berkembang pada umumnya, khususnya di Indonesia. Untuk makmur, Indonesia perlu meningkatkan jumlah pengusaha menjadi 1,1 persen atau menjadi 4,4 juta orang.
Ketiga, secara konstitusional berkait an dengan pembahasan RUU PT perlu pertimbangan memuat substansi yang berkaitan dengan sejumlah pasal dalam RUU tersebut.
Pertama, dalam RUU PT perlu diatur mengenai orientasi kelulusan pendidikan tinggi. Kedua, RUU PT perlu memberi kan peluang dan keleluasaan pada pe nyelenggara PT untuk membuka jurusan yang sesuai dengan potensi lingkungan dan SDM di lingkungannya. Hal ini pen ting sehingga PT memiliki relevansi
dengan kebutuhan masyarakat.
Ketiga, RUU PT perlu menegaskan semangat UUD 1945 dan UU No 20 Ta hun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenai kewajiban pendidik an tinggi untuk menerima dan memberi kan fasilitas pada warga negara yang kurang mampu sekurang-kurangnya 20 persen dari jumlah seluruh mahasiswa.
Keempat, dalam pasal 10 ayat 1 me nge nai rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi perlu penambahan kata ‘akar’ sehingga bunyi pasal 10 ayat 1 menjadi: Pasal 10 1 Rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan kumpulan sejumlah akar, pohon, cabang, dan ranting ilmu pengetahuan yang berkembang secara alami dan disusun secara sistematis.
Selanjutnya, dalam penjelasan pasal 10 ayat 1 perlu ditambahkan kalimat, “Yang dimaksud akar dalam ayat ini, meliputi agama, ideologi Pancasila, dan filsafat.” Kelima, pada pasal 44 ayat 2 perlu di tambahkan kalimat, “mengandung unsur Suku Antar Ras Agama (SARA)” sebelum frasa “bersifat rahasia” dan penambahan kata “dapat” sebelum kata “mengganggu” sehingga selengkapnya berbunyi, “Hasil penelitian wajib disebarluaskan dengan cara diseminarkan, dipublikasikan dan/atau dipatenkan oleh perguruan tinggi, kecuali hasil pe ne litian yang mengandung unsur Suku Antar Ras Agama (SARA), bersifat raha sia, dapat mengganggu, dan/atau membahayakan kepentingan umum.” Keenam, dalam RUU terdapat pasal 89 ayat 1 yang menyatakan bahwa perguruan tinggi negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wila yah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Saya kurang se pendapat dengan pasal 89 sehingga mengusulkan untuk dihapuskan. Karena, pihak asing dalam mengelola pendidikan di Indonesia akan mengintervensi ke daulatan NKRI. Dengan demikian, cepat atau lambat rasa nasionalime kebang sa an anak bangsa kita akan hilang.
Tulisan diatas adalah Opini AMIRSYAH Sekretaris Departemen Pendidikan MPP ICMI. Tulisan ini sudah dimuat di Harian Republika edisi 3 Mei 2012.


Thursday, May 03, 2012
Tentang
Posted in: 

0 comments:
Post a Comment