Dibawah ini adalah Catatan-Catatan Dimas Sandya, Sahabat Saya dari Pengajar Muda, Indonesia Mengajar. Dimas ditempatkan di SDN 25 Araselo Kecamatan Sawang, Aceh Utara. Saya tertarik membaca catatan-catatan dimas, makanya saya minta izin untuk publikasi di Blog Saya. Selamat Membaca semoga bermanfaat. kalau anda mau tambahkan Dimas sebagai Sahabat anda di Facebook, silakan click disini
Catatang 1_Senyum Araselo
Senyum itu adalah senyum anak-anakku. Senyum lembut anak pelosok yang penuh dengan kepolosan. Tanpa alas kaki dan pakaian yang membungkus rapi tubuhnya, mereka berlari riang kesana kemari. Aku pun tergerak untuk ikut mengejar, sekedar untuk berkenalan. Tapi mereka malah menghindar secepat kilat. Sambil sesekali mengintip di balik pepohonan, mereka melirik ke arahku. Mungkin bertanya-tanya pada sosok yang baru dilihatnya. Siapa dia, mau apa dia, sedang apa dia? Dan aku hanya membalasnya dengan senyuman lagi. Senyuman yang seolah berkata, aku pak guru, datang kemari untuk belajar bersamamu, maukah kau bermain denganku. Itu jawab senyumku.
Senyum itu adalah senyum anak-anakku .Senyum malu-malu yang buatku hati pilu. Kulihat dia sedang menggembala lembu, yang bukan satu atau dua, tapi bisa jadi lima. Usianya masih kurang dari sewindu, tapi kerjanya berat sekali. Ada lagi yang sedang menggendong balita kecil. Mungkin adiknya. Saat orang tuanya ke kebun, dialah pengurus semua pekerjaan di rumah. Mengambil air di sungai, mencuci, memasak, dan menjaga adik adalah tugasnya. Sudah seperti mamak-mamak saja dia. Untunglah dia masih bisa sekolah, jika sempat. Atau sekedar belajar di balai, jika dapat. Maka aku tak hiraukan jika ia sekejap datang terlambat. Masih dengan senyumnya yang malu-malu, kupersilahkan ia duduk, untuk segera belajar bersama kawan-kawan.
Senyum itu adalah senyum anak-anakku. Senyum riang tatkala kuajarkan mereka senam pagi di sekolah. Sambil setengah bernyanyi, mereka gerakkan badan ke kanan dan kiri penuh semangat. Lain hari mereka begitu hikmat mengikuti upacara. Kadang masih dengan kelinglungan di kepala, menebak-nebak rangkaian kegiatan di setiap senin pagi. Sikap sempurna, hormat pada bendera, menyanyi lagu wajib, istirahat di tempat, mengheningkan cipta. Semua ritual itu adalah baru bagi mereka yang bahkan tak tahu senandung Indonesia Raya. Maka begitu sang merah putih berkibar di puncak bendera, rasa kagum tak terelakkan lagi. Mengukir senyum di wajah mereka. Riang dan penuh kebanggaan sebagai anak Indonesia.
Senyum itu adalah senyum anak-anakku. Senyum binar yang memancar saat mereka melihat buku dalam tas besar yang kugendong. Berkali-kali mereka menawarkan bantuan untuk membawa ‘perpustakaan berjalan’ itu. Mereka tampak haus akan segarnya dunia literasi. Buku, jadi sebuah oase pengetahuan di tengah gersangnya aktivitas dusun tanpa listrik dan air bersih. Buku, layaknya goresan pelangi saat hujan tiba, yang menghadirkan warna baru di hari-hari mereka. Barisan huruf, deretan gambar, beserta lembaran penuh imaji, ibarat santapan lezat yang selalu tak pernah puas dilahap. Mereka akan menagih lagi untuk meminjam buku, datang lagi untuk membaca buku, dan dengan binar di matanya, mereka tersenyum untuk bahkan meminta buku.
Senyum itu adalah senyum anak-anakku. Senyum semangat kala mereka turun gunung untuk pertama kalinya. Lintasi jalan nan berbatuan, hingga tiba di padatnya jalur menuju kota. Tiga jam perjalanan pun sungguh jadi tak terasa. Mereka lelah, mereka lemas. Tapi ini adalah pengalaman berharga, yang belum tentu hadir lagi di esok lusa. Ini sebuah lomba, yang sedari dulu selalu dinanti, hanya jadi khayal dalam lamunan sepi. Maka ketika semua menjadi nyata dan di depan mata, semangat itu terasa semakin bergelora. Ada rasa was-was, sekedar gelisah melihat lembar jawaban yang baru pertama dilihat. Kuyakinkan mereka untuk terus berjuang, tanpa perlu pikir kalah menang. Ini kesempatan, ini pencapaian. Bahwa setiap orang bisa berpetualang ke luar batasan dunianya, asal punya semangat dan keyakinan. Lagi-lagi mereka tersenyum.
Senyum itu adalah senyum anak-anakku. Senyum bahagia setiap kali mereka lihat aku kembali pulang ke dusun Dama Buleuen. Membawa sejuta angan-angan yang siap kutebar dan kutanam di benak mereka. Anak-anak itu girang, mereka kesenangan. Seolah sang induk semang mengantongi makanan untuk anak-anaknya. Sungguh seketika aku jadi tak tega, mengabarkan pada mereka, inilah kepulangan terakhirku. Dan setelah ini, aku akan mengenang mereka hanya dari foto dan cerita, lewat kenangan lagu dan surat lama, hingga celotehan bocah yang terlanjur bersarang di kepala. Jadilah kutinggalkan tanda senyumku untuk mereka. Kutempelkan erat di dadanya, kulekatkan sangat dalam jiwanya. Senyum bahagiaku untuk anak-anak tercinta.
Senyum itu adalah senyum anak-anakku. Senyum Araselo. Senyum lembut untuk selalu rendah hati. Senyum malu-malu namun penuh arti. Senyum riang untuk menggapai masa depan. Senyum binar penuh cita-cita di masa mendatang. Senyum semangat untuk terus bermimpi, belajar, dan berjuang menuju kesuksesan. Senyum bahagia yang akan selalu ada, dengan atau tanpa aku disana. Senyum itulah, yang buatku melebur, melebar Senyum tulus yang telah mengajarkanku tentang arti kesabaran dan keikhlasan. Hingga kelak aku akan merindukan senyum itu. Lagi dan lagi.
Dama Buleuen (Araselo), 25 Februari 2012
Catatan II_ Bukan Guru Biasa
Perjalanan saya mengikuti program Indonesia Mengajar telah mengantarkan saya ke sebuah dusun tanpa listrik dan air di pelosok negeri ini, di tanah rencong, Nanggroe Aceh Darussalam. Disanalah, segala kegelisahan saya tentang dunia pendidikan Indonesia seperti terbungkam. Saya mengalami irama persekolahan nun di jantung Kabupaten Aceh Utara, tepat di daerah konflik yang dulu menjadi sarang GAM. Selama lima bulan saya disini, saya dihadapkan pada realita pendidikan bangsa kita, dari sudut pandang seorang guru. Suatu hal yang sebelumnya hanya bisa saya lihat di tayangan film atau cerita di media kini berada tepat di depan mata dan menjadi bagian dari keseharian saya. Jalanan ke sekolah yang rusak, bangunan sekolah yang minim fasilitas tanpa toilet, siswa-siswi dengan seragam kumal yang menggunakan sendal jepit, adalah nyata adanya. Maka meski kini saya benar-benar menjalaninya, rasanya lidah ini kelu untuk mengeluh, terutama jika mengingat perjuangan para guru disini untuk mengajar.
Adalah seorang guru wanita berusia 37 tahun. Ibu Mundliah namanya. Sejak sekolah di puncak bukit ini dirintis, Bu Mun, panggilan akrabnya, kembali mengabdikan dirinya sebagai guru. Padahal lokasi sekolah ini terletak sekitar 21 km dari rumahnya, dan pada saat itu membutuhkan waktu hingga 2 jam untuk tiba di sekolah. Namun baginya, pilihan menjadi guru adalah sesuatu yang terhormat. Apalagi sejak suaminya dituduh menjadi bagian dari GAM, dan dipenjara selama beberapa tahun, Bu Mun, harus membiayai kedua anaknya yang masih kecil dan menjadi tulang punggung keluarga. Ia juga harus meninggalkan sekolah yang dirintisnya ketika terjadi konflik, dan hidup berpindah-pindah untuk sekedar mendapat keamanan. Saat itu adalah masa kelam dalam hidupnya, hingga rumah yang ia tinggali pun ikut dirusak. Bahkan ia sempat dengan nekat menjalani profesi sebagai RBT (ojek) dimana lazimnya disini hanya laki-laki yang bisa melakukan hal tersebut. Kemudian pasca peristiwa tsunami yang menewaskan ratusan guru di Aceh, tibalah kesempatan untuknya kembali mencicipi suka dan duka sebagai seorang guru.
Sudah 19 tahun Bu Mun berkiprah menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, walau sempat terhenti sejenak saat masa konflik. Dari mulai guru bakti, hingga guru honor sudah pernah ia jalani. Namun untuk menjadi seorang pegawai negeri, tampaknya masih menjadi sebuah mimpi. Kini sebagai seorang guru honor, tidak banyak imbalan yang diterima olehnya. Jika dibandingkan dengan ongkos bensin dan perbaikan motornya, semua hampir impas. Tapi hal itu tidak membuat Bu Mun berhenti mengajar. Baginya ini kesempatan untuk mengembangkan diri sekaligus berbakti pada negeri. Jika hujan tiba, hanya Bu Mun, satu-satunya guru yang bertahan naik ke atas bukit. Dengan berbekal motor tuanya, ia bahkan rela berjalan kaki berkilo-kilometer, karena motornya tak sanggup melewati ganasnya tanjakan tanah nan berbatu di bukit Dama Buleuen. Saking licinnya, roda motor bergeser kesana kemari, tanpa pernah bisa melaju. Sungguh membuat frustasi! Terpaksa ia meninggalkan motornya di tengah jalan, dan kembali melanjutkan perjalanan agar kegiatan belajar dan mengajar tidak terhenti. Betapa gigih dan luar biasa perjuangannya.
Saya jadi ingat pertama kali saya datang ke sekolah ini, lantas saya bertanya pada salah seorang siswa saya “ Siapa guru favoritmu?” dan mereka serempak menjawab “Bu Mun..!”. Saat itu saya belum mengenal beliau, karena ia baru saja melahirkan sehingga harus cuti selama 3 bulan. Saat itu sekolah memang terasa lebih sepi. Saya hanya melihat karya-karya sederhananya berupa alat peraga, yang sesekali saya pakai untuk mengajari anak-anak. Saya pun hanya bisa menduga-duga, ‘seperti apa ya cara Bu Mun mengajar hingga ia begitu disayangi siswanya?”. Belakangan saya tahu, bahwa Bu Mun tidak hanya enerjik dalam mengajar tapi juga interaktif dan selalu memberikan apresiasi pada siswanya. Padahal, tidak banyak yang tahu kalau untuk membuat alat peraga itu, tak jarang Bu Mun meminjam uang pada tetangganya sekedar untuk membeli karton atau lem. Namun baginya, kebahagiaan adalah ketika melihat senyum anak-anaknya di sekolah dan hadir bersama mereka.
Hari itu, seorang guru menyapa saya dengan Bahasa Inggris yang tidak terlalu lancar, dengan aksen yang kaku namun penuh percaya diri. “Good Morning Pak Dimas. I’m sorry, I’m late because of my baby”, sahutnya. Tersenyum saya menatapnya. “Its alright Bu Mun. I’m happy to see you”, balas saya. Dialah Bu Mun, seorang guru di daerah terpencil yang sudah malang melintang menjadi seorang pejuang pendidikan. Meski hanya seorang guru honor, namun dedikasi dan semangatnya bahkan melebihi guru-guru senior yang sudah berstatus PNS. Dia juga bukan seorang lulusan jurusan Bahasa Inggris, tapi ketekunannya membuat ia mampu berpidato singkat dengan Bahasa Inggris di upacara 17 Agustus dan dipercaya sebagai Ketua Kelompok Guru Bahasa Inggris di Kecamatan Sawang. Orang-orang sudah sangat mengenalnya sebagai pejuang pendidikan. Percakapan tadi seolah memberi gambaran, baginya menjadi guru adalah proses belajar tiada henti, hingga tak sedikit pun rasa malu yang tampak meski ia tidak fasih berbahasa Inggris.Dan tahun ini Bu Mun bisa bersenang hati, karena gelar sarjana dari Universitas Terbuka telah diraihnya, dengan predikat cum laude.
Bukan guru biasa, itulah kata-kata yang sering saya katakan padanya. Bahkan guru teladan sekali pun jika diuji dengan tantangan geografis dan sosiologis di daerah terpancil belum tentu betah berlama-lama. Maka untuk mereka yang selalu mengkritik tentang bobroknya sistem pendidikan kita, alami saja persekolahan di daerah terpencil. Untuk guru yang ingin menguji seberapa besar kontribusi dirinya terhadap siswa dan selalu mengeluh tentang minimnya kesejahteraan, datanglah kemari dan rasakan pengalamannya sendiri. Pun, untuk untuk semua orang yang merasa paling tahu solusi untuk permasalahan pendidikan, sekaligus jumawa dengan berbagai teori kebijakan makronya, cobalah merendahkan hati disini. Di Dama Buleuen ada Bu Mun, dia punya hati untuk siswa-siswanya, bukan sekedar untuk mencari uang. Darinya saya belajar tentang ketulusan dan pengabdian, dan melakukan kebaikan lewat hal-hal sederhana, bukan sekedar mengutuki keburukan yang sudah ada.
Salam dari ujung barat Indonesia!
Catatan III_Sincerity
Tulus.
Kata itulah yang sering didengungkan ke dalam sanubari kami dari masa pelatihan hingga tinggal di daerah penempatan. Bahkan dalam berbagai kesempatan Pak Anies berkali-kali menyampaikan bahwa ketulusan adalah bahan bakar utama yang akan menjaga semangat kami selama menjadi pengajar muda. Karena tanpa ketulusan, mustahil kami bisa betah mengajar dan kerasan hidup disana. Apalagi di daerah terpencil, dengan segala keterbatasannya, dengan segala gegar budayanya.
Namun, seperti apa bentuk konkrit dari ketulusan itu, saya pun masih bertanya-tanya. Kadang saya hanya bisa menebak-nebak dari perasaan damai yang menghinggapi hati saya, meraba-raba dari kebaikan orang-orang di sekitar saya, atau menduga-duga dari niatan dan ekspresi seseorang ketika melakukan sesuatu. Apakah ia benar-benar punya maksud baik tanpa pamrih? Atau ada maksud lain di balik itu semua? Sesederhana itu paramater saya dalam mengukur ketulusan.
Tetapi ada pepatah yang mengatakan ‘dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu’. Disinilah menurut saya ketulusan menjadi sesuatu yang abstrak, yang hanya bisa dirasakan oleh si empunya tulus dan Sang Maha Tahu. Bahkan tidak jarang saya bertanya tentang ketulusan kepada diri sendiri, setiap kali saya hendak mengeluh. Namun untunglah, bersamaan dengan itu saya teringat sebuah pengalaman berharga di masa pelatihan, saat saya bersama teman-teman berkesempatan mengunjungi sebuah sekolah gratis untuk kaum dhuafa. Dan disanalah saya menemukan inspirasi tentang ketulusan.
Sekolah itu namanya Batutis Al-Ilmi atau kependekan dari Baca Tulis Gratis. Bu Siska dan suaminya, hanya punya satu niat ketika mendirikan sekolah ini, ingin menyekolahkan anak-anak miskin di sekitar tempat tinggal mereka. Alih-alih memberi beasiswa, mereka kemudian mendirikan sekolah yang dimulai dari PAUD dan SD. Bentuknya pun sederhana, seperti kamar kosan yang berderet dengan fasilitas sekedarnya. Lalu disulap jadi kelas. Bahkan ada kelas-kelas yang menggunakan garasi-garasi tetangganya.
Yang luar biasa adalah guru-gurunya. Saya tidak tahu apa motivasi mereka mengajar disana. Apalagi dengan gaji yang tak seberapa. Merekalah yang membuat sekolah itu jadi penuh inspirasi. Mereka mengajar dengan hati. Hingga suatu ketika, saya tertegun saat melihat seorang anak ADHD yang meludahi gurunya, dan ia hanya berkata, “Hanif, kalau kamu mau meludah jangan di wajah. Ibu tidak nyaman dengan itu. Kalau kamu mau meludah, ayo Ibu antarkan ke saluran pembuangan air. Itu tempat orang membuat ludah”. Suaranya lembut, dengan ekspresi tanpa emosi. Tulus.
Namun dalam praktiknya, ternyata tulus saja tak cukup untuk menjaga kelurusan niat kita. Karena seringkali ketulusan itu terusik oleh semangat yang memudar, sanjungan dari orang bak pahlawan, serta ribuan godaan lainnya yang mengguncang singgasana ketulusan. Tulus ternyata harus disertai rasa syukur, dalam kondisi apapun, agar kita tidak jumawa. Nasib baik membawa berkah, nasib buruk membawa hikmah. Seperti halnya anak-anak Batutis yang entah bagaimana selalu bisa belajar setiap harinya, dengan makanan yang cukup, dengan fasilitas belajar yang semakin berkembang. Bu Siska tidak pernah tahu darimana itu semua berasal. Yang dia yakini hanyalah Tuhan pasti akan memberikan karunia terbaik bagi setiap hamba-Nya yang berusaha. Dan entah bagaimana, rejeki itu pun akan terus mengalir selama hati ini..
Ikhlas.
Begitulah, hanya tulus dan ikhlas yang akhirnya membuat saya bahagia dalam mengajar. Senyum anak-anak itu, binar mata mereka yang penuh dengan semangat untuk bermimpi, sungguh membuat saya tak boleh berhenti. Tantangan boleh datang silih berganti, hambatan boleh hadir sesuka hati, tapi dengan ketulusan dan keikhlasan semua mendadak pergi. Keduanya tidak akan pernah tumpul, selama terus diasah dengan kesabaran. Sabar untuk berbakti, sabar untuk terus menempa diri. Dan semua masih perlu bukti, hingga delapan purnama lagi.
Catatan IV_Pelangi di Dama Buleun
Ara Seulo. Begitulah orang-orang di sini menyebut daerah tempatku tinggal. Terletak di puncak bukit Dama Buleuen, tempat dimana birunya langit adalah karya indah Sang Maha Kuasa, lengkap dengan gumpalan awan sebagai dekorasinya. Konon dulu di sini banyak sekali pohon damar yang getahnya berwarna cemerlang bak cahya rembulan. Dari sanalah nama Dama Buleuen berawal. Udaranya sejuk, kadang berembun di waktu malam. Bukit ini memang dikelilingi hutan, kebun sawit, dan pinang yang terhampar layaknya gulungan karpet hijau. Dari sini, Gunung Geureudong di selatan tampak jelas terlihat dan seolah sama tingginya. Samar-samar dari kejauhan, ada bayang-bayang pantai utara Sumatera yang lautnya menjelma menjadi Selat Malaka.
Nama Ara Seulo sendiri berasal dari nama sebuah perusahaan yang membangun wilayah ini. PT. Alaselo lebih tepatnya. Tapi lidah orang sini terlanjur menyebutnya Araselo, jadilah nama itu yang dikenal. Lebih terkenal dibandingkan nama resmi dusunnya, Dama Buleuen. Sekitar lima tahun yang lalu, pemerintah daerah Aceh Utara berniat menjadikan lokasi ini sebagai desa agrowisata. Semua infrastruktur pun disiapkan. Jalan, rumah, saluran air mantap dibangun. Sekolah, meunasah (masjid kecil), dan puskemas pembantu ikut didirikan. Semuanya sederhana, tapi bersahaja. Yang menarik, penduduk disini adalah warga-warga ‘pilihan’ dari keluarga miskin di berbagai gampong (desa) di seluruh Aceh Utara. Dengan iming-iming, sebuah rumah, setengah hektar pekarangan, dan 1,5 hektar kebun sawit, maka berbondong-bondonglah mereka kemari. Ada 250 sudah Kepala Keluarga (KK) yang ikut transmigrasi lokal. Mereka meniti hidup, dan berharap masa depan yang lebih baik.
Jika diperhatikan sekilas, suasana dusun ini lebih mirip kompleks perumahan ketimbang desa. Jalan utamanya berupa tanah bebatuan yang lebar, berpasir, juga agak licin dengan kontur berbukit. Kadang saya berkhayal, ini tampak seperti sekumpulan villa yang ada di lereng-lereng gunung di pinggiran kota. Rumah-rumahnya pun unik. Terdiri dari satu tipe, terbuat dari kayu, tapi bukan rumah panggung. Semuanya dicat putih, meski ada beberapa di antaranya yang sudah berubah warna menjadi hijau atau merah jambu. Jalan antar rumah cukup renggang, bisa 50 meter jauhnya. Tapi beberapa sudah dipindah, sehingga kini ada yang jaraknya ‘hanya’ 20 meter. Sekilas rumah di sini tampak canggih, karena dilengkapi sel tenaga surya di atasnya. Sebabnya dusun ini belum terjangkau oleh listrik. Maka meski hanya mampu menyalakan 3 buah lampu di malam hari, manfaat solar cell itu sungguh terasa. Sayang kini sudah banyak yang rusak, hingga gulita kembali menyelimuti dusun ini.
Menurut cerita warga, dulu di dusun ini ada listrik dari dua genset besar yang bisa menerangi seluruh rumah. Mesin PMU namanya, Project Management Unit. Saat itu, kegiatan pertanian sedang giat-giatnya dilakukan. Masa itu, tenaga surya masih leluasa digunakan di siang hari, sekedar untuk menyalakan radio atau menyetrika. Saat itu adalah masa keemasan. Bahkan pada tahun pertama, masyarakat di sana mendapat dukungan dari pemerintah daerah berupa sembako (sembilan bahan pokok) setiap bulannya. Dusun pun menjadi ramai. Kedai-kedai bermunculan. Orang-orang datang di akhir pekan, dengan kendaraan mobil bak yang jadi satu-satiunya alternatif transportasi. Meski jalan ke sana demikian parahnya, waktu 2 jam pun terbayar saat menemukan suasana berbeda di kampung baru yang bernama Araselo. Sebuah desa rintisan, sebuah dusun binaan, sebuah kampung yang konon paling terpencil di Kecamatan Sawang, Aceh Utara.
Tetapi cerita itu kini seolah jadi legenda. Dua tahun yang lalu, perbaikan jalan yang harusnya menjadi berkah, justru memberi dampak buruk bagi masyarakat disana. Sejak itulah, pipa-pipa air dicabut untuk pembuatan parit-parit di sisi jalan. Katanya akan dipasang kembali, namun tak jelas nasib rimbanya. Kini tidak ada lagi air bersih. Semua bergantung pada kebaikan Tuhan lewat hujan. Jika kemarau, semua berbondong mengangkut air dari mata air di atas bukit atau turun ke lembah sungai. Sekarang listrik juga sudah tidak ada. Maka jika malam tiba, suasana dusun ini layaknya kampung ‘hantu’ yang ditinggal penduduknya. Apalagi kebun sawit yang dulu diharapkan, sudah gagal entah bagaimana. Sebagian memilih pulang kampung, sebagian bertahan. Bagi 80 keluarga yang tetap tinggal, pilihannya adalah bekerja mencari hasil alam di hutan. Dan untuk itu, tak jarang mereka harus menginap beberapa hari disana hingga menambah kesepian di dusun ini.
Perjuangan yang keras, sedikit banyak telah mengubah karakter masyarakat disini. Orang-orang mulai kehilangan kebersamaan dan larut dalam ketegangan hidup. Lambat laun, satu persatu aset di dusun ini hilang perlahan. Sudah banyak yang bilang, hati-hati menyimpan barang. Jika lengah, bukan tidak mungkin semua raib seketika. Entah oleh siapa. Cobaan hidup juga meregangkan persatuan yang dulu ada, karena kini semua hidup untuk dirinya, tak peduli lagi yang lain. Bahkan kepala dusunnya pun tega pindah ke kampung lain, meninggalkan warganya dalam kebingungan. Puncaknya beberapa bulan sudah, hampir tak ada lagi aktivitas kemasyarakatan disana. Tak ada pengajian, tak ada kumpul pemuda, tak ada adzan atau shalat jumat. Semua hidup masing-masing. 'Nafsi-nafsi' orang sini bilang. Dusun ini pun beku. Mereka didera krisis kepemimpinan dan kepercayaan, karena tak ada lagi yang bisa diandalkan.
***
Pada hari kedua saya tiba disana, siang itu di tengah keadaan yang sepi, saya melihat beberapa anak sedang bermain tanah. Saya pun mendekati mereka dengan perlahan. ‘
“Sedang main apa?”, tanya saya penasaran. Mereka tampak bingung, dan mengabaikan pertanyaan saya.
“Sudah pernah main tepuk-tepuk? Bapak punya permainan tepuk 1,2,3. Mau main?”, ajak saya pada mereka dengan penuh semangat.
Lagi-lagi mereka tidak peduli dan hanya ketawa ketiwi sambil berlari menjauhi saya. Tampaknya malu-malu. Wah, ini tidak akan berhasil, pikir saya. Mereka pasti tidak mengerti apa yang saya ucapkan.
Lalu tanpa pikir panjang, saya ikut bermain tanah dengan mereka. Membantu mengumpulkan pasir dan memasukkannya ke dalam gelas-gelas plastik. Mereka tertawa, tapi membiarkan saya. Setelah setengah jam bermain, saya pun menggambar sebuah garis dan persimpangan seraya meletakkan sebuah batu.
“Ini rumah Bapak, di simpang tiga, kedai Mamak Ponah. Rumah kalian dimana?”, ucap saya sambil menerangkan. Mereka terdiam, lalu salah seorang dari mereka mengambil batu dan menaruhnya di tepian garis yang saya buat.
“Rumoh lung”, katanya singkat. Saya mencoba mengartikannya sebagai ‘Ini rumah saya’. Berhubung baru beberapa hari saya belum pandai berbahasa Aceh, jadi saya sering menerka-nerka apa yang orang katakan.
“Kalau rumahmu?” tanya saya pada anak yang lainnya. Seorang gadis kecil yang senyum-senyum sendiri.
“Nyo”, jawabnya sambil meletakkan batu. Rupanya rumah dia dekat dengan tempat saya tinggal. Hanya berbeda satu atau dua rumah, walaunya jaraknya bisa sampai 100 meter.
Dialog ini cukup berhasil. Saya kemudian meyodorkan kedua tangan saya untuk mengajak mereka bermain. Mereka tampaknya paham isyarat itu. Dan untuk pertama kalinya kami mulai bersentuhan, pertanda keakraban sudah dimulai.
Keesokan harinya, saya bangun pagi-pagi sekali. Menikmati kesejukan udara dan nuansa alam disini. Dari kejauhan kadang terdengar suara monyet atau bahkan gajah yang meramaikan suasana sepi di pagi hari. Apalagi orang disini terbiasa bangun siang. Hingga kemudian, pandangan saya teralihkan. Saya terpesona oleh sebuah pemandangan indah dari balik kabut di selatan.
Termenung. Kagum. Saya lihat ada pelangi di Dama Buleuen. Menyembul dari balik gunung, menjulur ke angkasa. Persis seperti lukisan anak-anak kecil di sekolah dasar. Ia hadir seolah menyambut kedatangan saya dan berkata, “Ayo goreskan warna warni ceriamu disini, di dusun ini! Ceritakan pada mereka tentang indahnya pelangi! Tentang kisah sekelompok anak-anak yang berani bermimpi dan punya cita-cita!”
Ya, akhirnya saya menemukan harapan di dusun itu. Pesan itu datang dari Tuhan lewat ciptaanNya yang sempurna. Inspirasi di pagi hari. Terima kasih pada pelangi. Terima kasih pada kawan-kawan kecil yang pertama kali saya temui. Hamal, Alda, Wahyudin, Aldi, dan Muji namanya. Merekalah sahabat cilik saya. Teman belajar yang akan membuat suasana dusun ini menjadi riang. Ceria seperti warna pelangi.

Catatan IV_7 Alasa Menjadi Pengajar Muda

“Selamat datang para pemberani!” – Hikmat Hardono, Program Director Indonesia Mengajar
Itulah kata sambutan yang pertama kali saya dengar ketika berkumpul dengan ke-72 orang pengajar muda dalam acara pembukan training intensif selama 7 minggu. Sebuah kalimat yang sangat memotivasi, namun sekaligus menggelitik hati kecil saya. Benarkah saya pemberani? Benarkah saya menjalani semua ini untuk mengabdi? Benarkah saya siap dengan segala suka dan duka yang akan saya temui di daerah penempatan nanti? Entahlah. Saat itu di benak saya masih penuh tanda tanya.
Tetapi justru karena itulah saya dan mereka semua hadir disana. Berdiri bersama para pemuda pemudi yang rela meninggalkan kehidupan nyaman untuk hidup dalam keterbatasan, namun penuh inspirasi. Semua untuk satu misi, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut memajukan pendidikan Indonesia. Dan seiring perjalanan yang saya lalui, satu persatu jawaban mulai muncul layaknya potongan puzzle yang merangkai potret perjalanan kehidupan. Setelah menyelami hati, semangat yang timbul dan tenggelam selama masa pelatihan, hati yang dilanda ombak kegalauan, saya pun akhirnya tiba di muara kepastian.
Andai saya boleh berbagi, inilah setidaknya tujuh alasan mengapa saya menjadi pengajar muda..
1. Aku Pilih Mengajar!
Orang bilang hidup ini pilihan, maka itu kamu bebas memilih jalan yang akan kamu lalui selama kamu tahu kemana tempat yang kamu tuju, agar kamu tak tersesat. Begitulah, menjadi pengajar muda bukan satu-satunya pilihan yang tersedia. Dan setiap kali dianugerahi kesempatan untuk memilih, saya selalu bersyukur. Bayangkan berapa banyak orang di dunia ini yang hidup tanpa pilihan. Menjalani takdir sebagai sebuah nasib yang tak bisa ditawar. Tapi saya masih bisa memilih, meski ini bukan pilihan yang populer di tengah pilihan lainnya yang jauh lebih nyaman. Karir, beasiswa, keluarga. Semua adalah pilihan yang kemudian ditinggalkan. Betapa sulit rasanya hingga tiba di keputusan ini, namun berkat restu dan doa seorang ibu, saya mantap memilih jalan ini.
Seorang teman berkata bahwa kita ini hidup karena budi baik orang lain. Kita makan beras dari budi baik petani, kita makan ikan dari budi baik nelayan, kita punya rumah dari budi baik para kuli bangunan. Kita sudah banyak mendapat kebaikan dan sudah saatnya kita membalas kebaikan itu dengan budi baik kita. Lantas, saya merasa bahwa saya telah banyak menerima budi baik dari negeri ini hingga saya bisa mencicipi nikmatnya pendidikan dengan subsidi dari pemerintah dari tingkat SD hingga perguruan tinggi. Jadi inilah saatnya saya mengabdi, saatnya saya berbagi. Karena saya punya sedikit ilmu, maka saya pilih mengajar untuk saudara-saudara saya di pelosok negeri.
2. It’s Time To Break..
Apalah artinya sebuah kalimat tanpa spasi. Dia akan kehilangan maknanya karena hanya berisi timbunan huruf tanpa jeda, tanpa jarak, dan tanpa ruang yang menjadikan kalimat tersebut lebih berarti. Hidup juga begitu. Karena seringkali kita terlalu cepat berlari, hingga menangisi atau memaki hari-hari yang kita lalui. Terjebak dalam rutinitas, terkejar oleh hasrat duniawi untuk sebuah materi. Maka inilah saatnya untuk berhenti. Waktunya untuk mendengarkan suara hati dan berefleksi. Tibalah masa berkontemplasi, sebuah perenungan yang akan mengisi kekosongan batin dari sesaknya aktivitas yang membelenggu diri.
Ruang inilah yang saya cari. Sebuah ruangan tempat saya bernafas sejenak, dan mulai menggali inspirasi. Saatnya break, saat dimana pikiran, tubuh, dan jiwa ini di-charge kembali hingga baterainya benar-benar penuh. Saatnya belajar tentang kesederhanaan, ketulusan, dan kesabaran. Saatnya menempa diri, memupuk jiwa kepemimpinan. Menjalani kuliah kehidupan selama dua semester, yang jika lulus nanti akan menjadi pelajaran berharga seumur hidup saya. Sebuah pengalaman lahir dan batin, yang akan selalu dikenang. Setahun mengajar, seumur hidup terinspirasi, begitu katanya.
3. Average Is Boring
Konon mimpi adalah kunci untuk menaklukan dunia. Semua karya besar lahir lahir dari sebuah mimpi, yang bisa jadi dianggap konyol pada zamannya. Andai saja Wright bersaudara tidak terus bermimpi tentang kapal terbang atau manusia burung, bisa jadi saat ini kita masih berlayar dengan perahu jika ingin melintasi lautan. Andai Thomas Alfa Edison tidak bermimpi untuk menciptakan cahaya dalam gelap, pastilah lampu hanya jadi sebuah legenda. Maka andai Pak Anies Baswedan tidak pernah bermimpi bahwa ada ribuan anak muda yang rela dikirim ke daerah pelosok, sekedar untuk mengajar, dan menyalakan harapan pendidikan disana, maka pastilah Indonesia Mengajar hanya sebuah konsep yang bersarang di kepala.
Berlayar terus berlayar, jangan tunggu keajaiban datang. Teramat sayang jika hidup ini kita habiskan dengan terus tinggal di zona nyaman. Lakukan sesuatu yang bisa jadi orang tak terpikir untuk melakukannya. Bukankah kita tidak pernah tahu hasilnya jika tidak pernah mencoba. Jangan jadi rata-rata, tapi jadilah luar biasa. Karena ketika kita hidup dalam keterbatasan, seringkali kita melentingkan potensi kita hingga tiba di kondisi akhir terbaiknya. Lagipula hidup ini cuma satu kali maka tak ada salahnya untuk membuat hidup jadi lebih bermakna, di atas rata-rata.
4. Sekolahnya Manusia
Manusia bersekolah untuk menuntut ilmu. Itu artinya sekolah dibuat sebagai tempat untuk mencetak orang-orang berilmu. Tapi ketika sekolah hanya menghasilkan robot-robot pandai pencetak materi, yang menyingkirkan orang-orang non eksak, serta mendikotomikan manusia dalam label pintar dan bodoh, maka disinilah sekolah telah banyak mengalami pergeseran makna. Ia terjebak dalam ranah komersialiasi sehingga memajak para penikmat pendidikan dengan harga selangit. Ada harga, ada rupa. Begitulah prinsip ekonomi. Semakin tinggi harga yang dibayarkan, maka semakin tinggi kualitas yang didapat. Lalu bagaimana dengan kondisi sebagian besar sekolah negeri? Inilah yang jadi potret ironi, sebuah paradoks di negeri ini.
Sejatinya sekolah adalah tempat manusia belajar hingga ilmu yang dimilikinya menjadi bermanfaat bagi yang lain. Sekolahnya manusia, adalah sekolah yang memuliakan manusianya, dimana setiap orang dihargai sebagai individu yang unik, cerdas dengan segala kelebihannya masing-masing. Untuk membangun sekolahnya manusia, maka yang mengajar haruslah gurunya manusia. Guru yang tahu cara mendidik manusia, lebih dari sekedar menjalani profesinya. Guru yang mengajar dengan setulus hati dan sepenuh jiwa, serta mengerti kebutuhan para siswanya. Untunglah masih ada banyak guru yang layak disebut gurunya manusia, meski tidak sebanyak gurunya para robot. Saya mau bertemu mereka dan belajar menjadi gurunya manusia, agar suatu hari kelak semua sekolah di negeri ini menjadi sekolahnya manusia. Sekolah tempat manusia benar-benar menuntut ilmu, bukan nilai.
5. Give The Benefit, First!
Pernahkah kita sadari bahwa pendidikan adalah tanggung jawab kita semua. Bukan hanya tanggung jawab pemerintah, guru, dan orang tua siswa. Jika jawabannya ya, maka berhentilah memaki. Mendidik adalah tanggung jawab setiap yang terdidik. Alih-alih mengutuki sistem pendidikan yang tak kunjung beres, dana BOS yang alirannya masih simpang siur, kualitas guru yang mutunya mencemaskan, mengapa bukan kita yang memulai untuk menjadi pemberi manfaat? Kita yang mulai menyalakan pelkita harapan di benak setiap anak, bahwa pendidikan berkualitas itu bukan mimpi. Dan semua orang berhak mendapatkannya.
Berhentilah membicarakan polemik pendidikan negeri ini. Ayo berbuat, sekecil yang kita bisa! Karena seringkali ilmu sederhana yang kita punya jadi sangat luar biasa bagi orang yang membutuhkannya. Betapa banyak orang yang pintar membaca dan menulis, tapi hitunglah berapa orang yang mau mengajarkan hal tersebut. Berapa banyak orang yang pandai berhitung, tapi lihatlah berapa orang yang mau mengajarkannya. Berapa banyak orang terdidik yang mau mendidik. So give the benefit, first! Lets stop cursing the darkness ‘n try to light a candle..
6. Teladani A.K.A.R
Sejak dulu saya selalu mengagumi akar. Ini adalah bagian tubuh yang paling tidak terlihat, namun justru paling kokoh dan berperan besar dalam menunjang kehidupan sebuah tanaman. Tujuannya hanya satu, mencarikan air untuk proses kehidupan. Ia gigih, tak berhenti meski dihadang batu atau jurang yang menganga. Dengan segala keyakinan, ia meliuk, mengantung, memutar, dan berjuta cara lainnya agar tiba di tempat air berkumpul. Akar begitu menjalani perannya dengan bersungguh-sungguh. Penuh tanggung jawab tanpa jumawa.
Menjadi pengajar muda adalah cara saya untuk meneladani A.K.A.R. Darinya, saya belajar untuk memiliki Ambisi, agar pantang menyerah hingga mencapai tujuan. Ia juga menjalani tugasnya dengan Konsisten. Terus bergerak tanpa henti. Pelan namun pasti. Agar berhasil, maka ia selalu ber- Adaptasi dengan lingkungan yang ditemuinya. Dihadang beton, batu, pasir, kerikil, sungai, adalah cobaan kecil. Ia lalu melebur bersama alam, berbaur, dan menjadi bagian dari lingkungan agar tetap bisa melaju. Yang terpenting, di atas segalanya ia tetap Rendah hati. Akar tidak pernah menjulang, melawan takdirnya. Ia selalu membumi, seperti ilmu padi.
7. Have F.U.N Go M.A.D !
Pernahkah kita menjalani sesuatu hal yang kita sukai, hingga kadang kita rela menyisakan waktu yang kita miliki untuk menekuninya? Pernahkah kita merasa puas akan sebuah karya sederhana yang dihasilkan dari kesukaan kita? Bisa jadi itulah passion kita. Dan inilah saatnya saya menikmati “sisi lain” dari diri saya. Ya, saya suka belajar dan mengajar. Saya suka bercerita dan berkegiatan bersama anak. Saya suka berpetualang dan jalan-jalan untuk mengenal negeri ini. Tapi itu semua akan lebih berarti jika saya bisa ikut serta menghasilkan perubahan. Tentunya menjadi lebih baik.
So, lets start to Find Ur passioN, and Make a Difference. Have F.U.N go M.A.D ! Karena setiap orang sejatinya bisa menjadi changemaker. Inilah saatnya jadi tahu, lebih peduli, lalu berbuat aksi nyata. Inilah tangga untuk mengabdi pada Indonesia. Inilah masanya mengenal negeri ini dari sudut yang berbeda. Nikmati, alami, dan lalui pengalamannya secara langsung. Maka meski banyak rintangan menghadang, inilah waktunya untuk mengatakan ..
“Pengajar Muda, YES WE CAN!”

0 comments:
Post a Comment