January 19, 2012

Joko ‘Jokowi’ Widodo; CEO ‘Kaki Lima’ Mengubah Wajah Surakarta


Saya sampaikan kepada masyarakat, bahwa problemnya itu ini. Masalah di kota itu ini. Hambatannya ini. Marilah kita carikan jalan keluar bersama-sama. Saya tidak mau janji yang tinggi-tinggi. Saya janjikan yang realistis. Masyarakat sudah tidak senang dengan janji yang muluk-muluk. Masyarakat sudah jenuh dengan janji-janji.





 
Biografi Singkat
Ir. Joko Widodo (lahir di Surakarta, 21 Juni 1961) , yang lebih dikenal dengan nama julukan Jokowi, adalah walikota Kota Surakarta (Solo) untuk dua kali masa bakti 2005-2015. Jokowi meraih gelar insinyur dari Fakultas Kehutanan UGM pada tahun 1985. Dia masuk ke Fakultas Kehutanan UGM bertolak dari keinginannya untuk menjadi tukang kayu. Orangtuanya sendiri menekuni bisnis perkayuan.
Ketika mencalonkan diri sebagai walikota, banyak yang meragukan kemampuan pria yang berprofesi sebagai pedagang mebel rumah dan taman ini, bahkan hingga saat ia terpilih. Namun setahun setelah ia memimpin, banyak gebrakan progresif dilakukan olehnya. Ia banyak mengambil contoh pengembangan kota-kota di Eropa yang sering ia kunjungi dalam rangka perjalanan bisnisnya.
Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan yang pesat. Branding untuk kota Solo dilakukan dengan motto “Solo: The Spirit of Java“. Langkah yang dilakukannya cukup progresif: mampu merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak untuk merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka, memberi syarat pada investor untuk mau memikirkan kepentingan publik, dan melakukan komunikasi langsung rutin dan terbuka dengan masyarakat. Taman Balekambang, yang terlantar semenjak ditinggalkan oleh pengelolanya, dijadikannya taman. Jokowi juga tak segan menampik investor yang tidak setuju dengan prinsip kepemimpinannya. Sebagai tindak lanjut branding ia mengajukan Surakarta untuk menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan Dunia dan diterima pada tahun 2006. Langkahnya berlanjut dengan keberhasilan Surakarta menjadi tuan rumah Konferensi organisasi tersebut pada bulan Oktober 2008 ini. Oleh Majalah Tempo, Joko Widodo terpilih menjadi salah satu dari “10 Tokoh 2008″.

Menjadi Walikota Dengan Niat Yang Mulia
Biasa saja. Saya pikir tidak ada yang perlu disikapi berlebihan dengan jabatan yang saya pegang sekarang ini. Yang jelas, tanggung jawab saya sekarang menjadi sangat berat. Karena saya mengemban amanah dari masyarakat Solo untuk memimpin mereka menuju Solo yang lebih baik, maju dan mensejahterahkan seluruh lapisan masyarakat. Amanah itu saya terima dengan senang hati dan dengan penuh tanggung jawab.

Kalimat-kalimat tersebut meluncur dari mulut Joko Widodo tentang kesannya sebagai Walikota Solo. Ungkapan tersebut menggambarkan bukan hanya sekadar rangkaian kata-kata saja, tetapi bisa dirasakan juga oleh rakyat kecil.
Bagi masyarakat Solo, Pak Jokowi adalah seorang pemimpin yang sangat peduli dengan kehidupan mereka. Mereka menemukan keperibadian yang sangat menarik pada diri Pak Jokowi: mau merangkul mereka membangun Solo.
Sebenarnya, apa yang mendorong Jokowi mencalonkan diri jadi Walikota Solo? Jokowi punya obsesi dan alasan. Pertama, sangat serius untuk maju. Jokowi ingin mengakomodasikan aspirasi-aspirasi serius yang muncul dari banyak pihak, baik secara pribadi maupun secara kelompok atau organisasi. Yang kedua, ingin bersama-sama seluruh komponen masyarakat membawa Solo ke arah yang lebih baik, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Yang ketiga, ingin pemerintahan ini diurus secara bersih, jernih, tegas dan tanpa kompromi, sehingga good governance dan clean goverment benar-benar terwujud.
Setelah menjadi walikota, Jokowi menyadari bahwa banyak kalangan masyarakat yang kesulitan ekonomi akibat krisis moneter yang tak kunjung selesai ditambah kenaikan harga kebutuhan pokok. Dia pun langsung bertekad mengantisipasi keadaan ini. Dia segera berusaha mensejahterakan masyarakat Solo yang dipimpinnya.

Penataan PKL Di Kota Solo
Jika dibina dengan baik, pedagang kaki lima (PKL) dapat berkontribusi besar untuk daerah. Dan untuk membina PKL bukanlah hal yang sulit, semuanya tergantung niat dan implementasi masing-masing pemerintah daerah.

PKL merupakan permasalahan yang biasanya pasti selalu ada di tiap daerah. Namun penyelesaian terhadap permasalahan tersebut, tidak selalu sama. Putra tukang kayu ini mengimpikan Solo yang bersih dan tata ruang kota yang harmonis. Dan satu masalah pelik bagi kota Solo adalah semrawutnya PKL di Solo, maka perlu penataan ulang.
Ketika baru dilantik menjadi Wali Kota Surakarta, Jokowi membentuk tim kecil untuk mensurvei keinginan warga kota di tepian Sungai Bengawan itu. Hasilnya, kebanyakan orang Solo ingin pedagang kaki lima yang memenuhi jalan dan taman di pusat kota itu disingkirkan. Tetapi ia tidak ingin menempuh cara gampang, dengan memanggil aparat, lalu menggusur pedagang itu pergi. Tidak bisa tidak, para pedagang itu harus direlokasi. Tapi bagaimana caranya? Menggusur pedagang yang telah bertahun-tahun mencari nafkah di tempat-tempat itu, jelas tidak mudah. Mereka pasti marah.
Munculah ide, untuk meluluhkan hati para pedagang, mereka harus diajak makan bersama. Dalam bisnis, jamuan makan yang sukses biasanya berakhir dengan kontrak yang bagus. Sebagai eksportir furniture selama 18 tahun, Jokowi paham betul ampuhnya strategi “lobi meja makan”. Maka rencana disusun. Meski bukan langkah yang mudah, usaha persuasif ini menuai hasil. Cara yang ditempuh Jokowi ini termasuk “aneh”, dalam pengertian berani berbeda dengan pemerintah di daerah lain.
Target pertama adalah kaki lima di daerah Banjarsari. Di sana ada 989 pedagang yang bergabung dalam 11 paguyuban. Strategi ”lobi meja makan” dimulai. Para koordinator paguyuban diajak makan siang di Loji Gandrung, rumah dinas Walikota.
Tahu hendak dipindahkan, mereka datang membawa pengurus lembaga swadaya masyarakat. Jokowi menahan diri untuk tidak mengungkapkan keinginannya menyampaikan rencana relokasi tersebut. Seusai makan, Joko mempersilakan mereka pulang. Tentunya para pedagang kaki lima heran, mengapa tidak ada dialog mengenai relokasi. Beberapa hari kemudian, mereka kembali diundang. Lagi-lagi sama seperti sebelumnya: Sudah makan, pulang. Hal ini berlangsung terus selama tujuh bulan.
Baru pada jamuan ke-54, saat itu semua pedagang kaki lima yang hendak dipindahkan hadir, Jokowi baru mengutarakan niatnya. Dengan ramah dan santai Jokowi berkata kepada para pedagang kaki lima, “Bapak-bapak yang baik, mohon maaf sebelumnya jika tempat Bapak-bapak berdagang hendak saya pindahkan”. Hasilnya, seluruh pedagang kali lima tidak ada yang membantah. Para pedagang hanya minta jaminan, di tempat yang baru, mereka tidak kehilangan pembeli. Jokowi hanya berjanji akan mengiklankan Pasar Klitikan selama empat bulan di televisi dan media cetak lokal.
Janji itu ditepati. Pemerintah kota juga memperlebar jalan ke sana dan membuat satu trayek angkutan kota. Langkah berikutnya adalah dengan memberikan SIUP dan TDP gratis, kemudian melakukan penataan ulang terhadap Monumen Banjarsari yang kerap dijadikan pusat gelar dagangan para PKL. Pendekatan dengan cara ini ternyata berhasil. Pemindahan PKL dari tempat lama tidak perlu memakai buldoser, mereka secara sukarela untuk pindah. Pemindahan PKL pun dilakukan dengan penuh kehormatan. Semua pedagang mengenakan pakaian adat Solo dan menyunggi tumpeng -simbol kemakmuran. Prajurit Keraton Solo pun dikerahkan, sehingga timbul rasa kebanggaan. Hasilnya, wajah-wajah keceriaan sangat terlihat dari para pedagang.
Proyek pemindahan PKL ini sebenarnya tidak digratiskan. Pedagang diminta membayar hanya Rp 6.000/hari. Dengan perhitungan investasi, selama enam tahun ke depan sudah balik. Dan ternyata dari PKL ini memberikan pemasukan kepada Pemda justru lebih besar melebihi hotel, terminal, dan lainnya.
Menurut Joko, kiat suksesnya adalah adanya komitmen menganggap hal tersebut mudah dan tidak sulit, serta manajemen anggaran dan ke mana arahnya. Berapa persen anggarannya lalu tinggal pelaksanaan. Itu bisa dikontrol. Yang penting mengubah sistem, hilangkan peluang adanya korupsi.
Kini warga Solo kembali menikmati jalan yang bersih, indah, dan teratur.
Monumen Juang 1945 di Banjarsari kembali menjadi ruang terbuka hijau yang nyaman. Berhasil dengan Banjarsari, Jokowi merambah kaki lima di wilayah lain.
Pasar-pasar yang ditata ulang di antaranya Pasar Klitikan Notoharjo, Pasar Nusukan, Pasar Kembalang, Pasar Sidodadi, Pasar Gading, pusat jajanan malam Langen Bogan, serta pasar malam Ngarsapura.
Untuk yang berada dijalan depan Stadion Manahan, sekitar 180 pedagang, dibuatkan shelter dan gerobak. Penjual makanan yang terkenal enak di beberapa wilayah dikumpulkan di Gladag Langen Bogan Solo, Gandekan. Lokasi kuliner yang hanya buka pada malam hari dengan menutup separuh Jalan Mayor Sunaryo tersebut sekarang menjadi tempat jajan paling ramai di kota itu. Hingga kini, 52 persen dari 5.718 pedagang kaki lima sudah ditata. Sisanya mulai mendesak pemerintah kota agar diurus juga. Tetapi justru saat ini Pemkot yang kewalahan karena belum punya dana.
Tapi rencana terus jalan. Misalnya, dibuat Pasar Malam di depan Mangkunegaran untuk 450 penjual barang kerajinan. Selain PKL, Jokowi juga punya perhatian khusus pada pasar-pasar tradisional. Beberapa tahun terakhir, 12 pasar tradisional ditata dan dibangun ulang. Ketika masih mengelola sendiri usaha mebelnya, Jokowi sering bepergian untuk pameran. Dia banyak melihat pasar di negara lain. Di Hong Kong dan Cina, menurutnya, pengunjung pasar jauh lebih banyak dari mal. Itu karena pasar tradisional komplet, segar, dan jauh lebih murah. Sementara di sini kebalikannya, Pasarnya kotor dan berbau.
Tidak sia-sia Jokowi ngopeni pedagang kecil. Meski modal cetek, pasar dan kaki lima di Solo paling banyak merekrut tenaga kerja. Mereka bahkan menjadi penyumbang terbesar pendapatan asli daerah. Di tahun 2010, nilai pajak dan retribusi dari sektor itu mencapai Rp 14,2 miliar. Jauh lebih besar dibanding hotel, Rp 4 miliar, atau terminal, yang hanya Rp 3 miliar.

Komunikasi Politik Simpatik ala Jokowi
Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan yang pesat. Dengan menerapkan branding “Solo: The Spirit of Java“, Jokowi mampu mendongkrak prestasi Kota Solo. Joko berhasil meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) Kota Solo dan menarik banyak investor untuk menanamkan modalnya di Solo.
Namun langkah yang tergolong fenomenal yang pernah Jokowi lakukan adalah dalam hal merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak untuk merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka. Jokowi melakukan komunikasi langsung secara rutin dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) kepada masyarakat, khususnya kepada para PKL.
Langkahnya melakukan relokasi PKL melalui cara yang manusiawi merupakan salah satu cara komunikasi politiknya. Langkah Jokowi ini mengundang kekaguman dari banyak pihak, baik lokal maupun nasional. Di saat para Kepala Daerah lebih senang menggunakan Satpol PP untuk melakukan penggusuran, Jokowi justru menggunakan komunikasi politik yang simpatik dan strategik. Tidak tanggung-tanggung majalah Tempo menganugerahkan Walikota ini sebagai salah satu pemimpin terbaik pada tahun 2008. Tempo bahkan menjulukinya sebagai “Wali Kaki Lima”. Sebuah bukti bahwa komunikasi yang baik dapat memberikan efek yang baik, terutama kepada seorang pemimpin jabatan publik.
Jokowi memahami betul bagaimana perasaan para PKL ketika mengetahui akan direlokasi. Para PKL itu merasa akan kehilangan pelanggan atau bahkan mata pencariannya. Karena itu Joko memberikan alternatif berupa tempat berdagang yang lebih baik daripada di jalan-jalan atau taman kota. Agar para pelanggan tetap bisa bertransaksi dengan para PKL, Joko juga melakukan promosi melalui media lokal, memperluas jalan dan membuat satu trayek angkutan kota baru.
Jokowi menunjukan empatinya ketika dia menjamu para PKL sebanyak 54 kali pertemuan. Dia tidak melakukan penggusuran secara paksa dan dengan kekerasan. Dia memilih lobby dan diplomasi. Joko sadar betul bahwa ketika tahu akan direlokasi, para PKL akan bersikap defensif. Jika dipaksa akan terjadi gejolak yang mungkin memunculkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian dari kedua belah pihak. Karena itu “lobby meja makan” merupakan sebuah tindakan komunikasi politik yang simpatik dan berusaha memahami posisi para PKL.
Saat relokasi dilakukan, Joko Widodo menggelar arak-arakan, alih-alih melakukan pengusiran dengan kekerasan, dengan menghadirkan budaya khas Solo, seperti penggunaan musik tradisional “kleningan” dan pakaian adat. Arak-arakan yang dilakukan ini menunjukkan bahwa Jokowi ingin menunjukkan “kesamaan” dengan para PKL, yakni kesamaan bahwa mereka sama-sama ingin membangun Kota Solo menjadi lebih baik, dan kesamaan bahwa mereka berasal dan memiliki budaya yang sama, yakni budaya orang Solo; pakaian adat yang sama, musik yang sama, tarian yang sama.
Tindakan Jokowi sekaligus menunjukkan keberpihakannya terhadap ekonomi kecil dan pasar tradisional. Bukan hanya dalam soal PKL, di bawah kepemimpinannya Joko dengan sukses membangun ekonomi kerakyatan. Kesamaan persepsi antara pemerintah dan para pedagang pada ekonomi kecil, memunculkan kesamaan persepsi pula bahwa masyarakat menganggap Walikota mereka berpihak pada masyarakat.

Nilai Penting Kepemimpinan Jokowi
Sejauh ini semua langkah sesuai dengan visi Jokowi, menjadikan Solo sebagai kota budaya dimana warganya bangga dengan sejarah dan tradisi sejak lahir. Dukungan bagi Jokowi makin solid. Bahkan dari mereka yang semula menentangnya.
Tak banyak kepala daerah seperti Jokowi. Pendekatan manusiawi yang dilakukannya bisa menjadi contoh bagi kota-kota yang mempunyai masalah serupa. Menurutnya, penataan PKL adalah bentuk ekonomi kerakyatan. Ia menganggap bahwa sebenarnya pekerjaan ini bukan perkara sulit. Pokoknya, memimpin mereka dengan hati. Hadapi mereka sebagai sesama, bukan sampah.
Wali Kota Surakarta ini setidaknya memperlihatkan bahwa kekuasaan jauh lebih berarti dengan wajah ramah, tidak harus garang dan menghardik. Ia juga memperlihatkan kepedulian seorang pemimpin, di saat banyak pemimpin lupa atas kepentingan apa sesungguhnya mereka mengejar kekuasaan itu.
Bangsa ini letih dan sedang tergeletak dalam carut-marut perlombaan merebut kekuasaan. Dari satu pilkada ke pilkada lain, ratusan miliar rupiah uang tidak produktif bertebaran. Setelah berkuasa, mereka mengambil kembali uang itu dari rakyat, tak peduli rakyat meraung kesakitan dan lapar. Jokowi mungkin tak berharap pujian –meski ia layak menerima itu– karena perbaikan dan pembenahan adalah kewajiban, adalah ibadah. Kewajiban dan ibadah tidak memerlukan pujian.

Sumber: Gading Mahendranata

0 comments:

Post a Comment

 
Web developed by Eka.aSOKA.web.id | Domain Host by aSOKAhost.com
Follow @MuehammadAdam