January 02, 2012

Bercerita Vs Membaca

A house without books is like a room without windows ~ Heinrich Mann

ADA tiga argument dasar yang melandasi tulisan ini, Pertama, melanjutkan berita dari Voice of America tanggal 24 Agustus 2011 tentang 5 Juta Lebih Perempuan Indonesia Masih Buta Huruf. Kedua, merespon pernyataan Kepala Bidang Pembinaan dan Pengembangan Badan Arsip dan Perpustakaan Aceh, Sanusi SE, M.Si yang mengatakan bahwa masyarakat Aceh lebih suka bercerita dan mendengar cerita daripada membaca (Serambi 29 Juli 2011). Ketiga, melanjutkan diskusi dan intrusksi Bapak Teguh Santoso (TS) selaku Kepala Balai Bahasa Aceh lewat tulisannya “Bacalah” (Serambi, 10 Agustus 2011).

Membaca opini TS dan mengaitkan dengan statemen Bapak Sanusi, tampaknya memang tidak dapat dibantahkan bahwa masyarakat Indonesia, masih sangat buruk pontenannya untuk budaya membaca. Antara membaca dengan berbicara dan bercerita tampaknya seperti malam dan siang, perbedaannya sangat jauh. Budaya berbicara masih berada digaris depan.


Indonesia Masyarakat Tradisional?

Dari penjalasan TS, setidaknya ada tiga fase perkembangan masyarakat yaitu fase tradisional, literer, dan modern. Sayangnya masyarakat Indonesia masih berada pada kelas tradisional. Ironis memang, disaat negara-negara lain sedang sibuk berinovasi, menciptakan berbagai teknologi canggih, menciptakan tenaga nuklir, berlomba menciptakan perguruan tinggi yang world class university, menciptakan model e-learning, e-business, menciptakan generasi yang siap berkompetensi denga dunia global , namun kita masih merangkak pada tahap menggalakkan membaca.

Melihat budaya dan kehidupan sosial bermasyarakat Indonesia, tampaknya anggapan TS bahwa kita masih hidup dengan gaya-gaya masyarakat tradisional memang begitu adanya. Salah satu faktanya yaitu masih sangat mininmnya budaya membaca dan realita ini sangat berlawanan dengan masyarakat literer yang cenderung suka membaca dan menulis. Di Indonesia, sangat banyak pola kehidupan yang dipraktekkan masyarakat yang mengindikasi masih jauh dari budaya masyarakat kelas literer. Ketika sedang naik angkutan umum, di bandara, dalam pesawat, antrian di bank, dan berbagai aktifitas masyarakat lainnya terbukti kita masih sangat suka berbicara dan bercerita daripada memegang buku dan membaca.

Hal lain yang dipraktekka dapat dilihat dari gaya berbelanja. Ketika seorang pulang dari pasar, boleh diperiksa dari tujuh barang bawaaannya, apakah ada satu buku saja yang dia beli?. Seorang ibu rumah tangga lebih suka menghabiskan uangnya untuk membeli baju seharga 300 ribu setiap bulannya daripada menghematnya untuk membeli satu buku.    



Gerakan Kesadaran Membaca

Mencontohkan apa yang dilakukan oleh organisasi Nirlaba 826 Amerika yang telah membantu siswa di seluruh Amerika menjadi penulis seperti yang diberitakan VoA tanggal 30 November 2011. Hal ini dapat menjadi salah satu model untuk mengkampanyekan gerakan membaca di Indonesia. Ironisnya meskipun Hari Aksara International yang diperingati setiap 8 September sudah dicanangkan oleh PBB semenjak tahun 1965, namun sekarang ini sekitar 20% orang dewasa di dunia masih buta aksara (voaindonesia.com).

Dalam kontek Indonesia, Mempertimbangkan ketertinggalan kelas kita, menurut Saya, perlu adanya “gerakan” kesadaran bersama akan pentingnya membaca. Berbicara dan bercerita saja tidaklah cukup, meskipun berbicara juga merupakan salah satu skill yang perlu dipelajari dan dilatih. Untuk meningkatkan kemampuan, memperluas wawasan, mengetahui perkembangan zaman, mengakses informasi, membaca adalah salah satu keniscayaan disamping meneliti. Untuk itu, baik pemerintah, orangtua, dan institusi pendidikan perlu berpangku tangan untuk menggalakkan kesadaran membaca secara berkelanjutan.
   
Orangtua adalah kunci dasar untuk menciptakan kesadaran membaca, karena orangtualah yang memulai memberikan pendidikan kepada seorang peserta didik. Keluarga , terutama Ibu dalam sebuah keluarga harus memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya untuk rajin membaca. Mengontrol anaknya supaya tidak “ngantuk” di depan TV terlalu lama adalah suatu keharusan.


Tidak hanya itu, bimbingan orangtua juga sangat diperlukan supaya anaknya bisa mengkonsumsi siaran-siaran TV yang positif untuk pentumbuhan dan pendidikannya. Karena, disamping dampak negative dari ketergantungan pada media (TV), juga ada sejumlah manfaat positif yang bisa didapatkan dari menonton. Banyak siaran-siaran yang edukatif, namun supaya manfaat tersebut dapat didapatkan oleh anak-anak,  peran orangtua haruslah dominan.

   
Tindakan ringan lainnya yang dapat dilakukan adalah mewajibkan anaknya membaca secara rutin di rumah. Walaupun 20-30 menit yang digunakan untuk membaca, namun kalau dilakukan secara rutin dan berkelanjutan, maka akan dapat membentuk budaya membaca yang kokoh karena sudah berdarah daging dalam pribadinya.

   
Selanjutnya pemerintah dengan segenap kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya sangat memungkinkan untuk dapat membentuk masyarakat yang gemar membaca kalau saja mereka mempunyai good-will yang serius. Memang permalahan malas membaca adalah fenomena abstrak, bukan fisik namun implikasi negatifnya akan berlangsung lama dan berpengaruh semua lini kehidupan baik ekonomi, pendidikan, social, budaya, bahkan politik. PBB memplopori HAIpun untuk mengingatkan bahwa melek aksara merupakan kunci pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, perbaikan standar kesehatan dan peningkatan pertisipasi politik. Untuk itu, pemerintah yang memiliki tangungjawab untuk mencerdaskan anak bangsa harus memiliki prioritas dan perhatian serius.

   
Disamping itu, pihak pemerintah (eksutif) dengan seluruh stake-holdernya juga dapat mengkampanyekan budaya membaca. Pihak yang mengkoordinir arsip dan perpustakaan harus memainkan peran lebih untuk  dapat menambah minat baca masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan memberlakukan jadwal pustaka 24 Jam atau tidak ditutup ketika jam-jam istirahat. Disamping itu, pemerintah lewat dinas pendidikan juga bisa mewajibkan pelajar untuk membeli buku kalau mereka mendapat beasiswa atau distribusi beasiswa tidak hanya dalam bentuk uang cash, mungkin saja dapat dibelikan buku langsung oleh pemerintah atau sekolah kalau dikhawatirkan nantinya anak-anak yang mendapat beasiswa tersebut tidak akan membeli buku.

   
Selain orangtua dan pemerintah, insitusi pendidikan mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi juga dapat memulai untuk menciptakan masyarakat yang cinta membaca. di Sekolah dapat diberlakukan jam wajib membaca selain jam formal dan meminta mereka untuk menulis resume apa yang telah dibacanya kemudian bisa didiskusikan bersama teman-temannya di dalam kelas sehingga menciptakan budaya membaca, juga bisa mengasah keterampilan menulis serta budaya kritis lewat diskusi. Karena logikanya, apa yang akan mereka tulis, kalau mereka malas membaca.

   
Perguruan tinggi juga memiliki penyakit yang sama dalam kegemaran membaca. mahasiswa-mahasiswa lebih suka menghabiskan waktu di kafe-kafe daripada di pustaka ketika tidak ada dosen atau istirahat. Untuk mengubah perilaku ini, dapat juga “dipaksakan” dengan melakukan wajib membaca sejumlah referensi (buku) sebelum mahasiswanya mengikuti ujian final misalnya. Intinya kapanpun, oleh siapapun, dan bagaimanapun bentuknya, budaya membaca perlu kita kampanyekan secara bersama-sama sehingga budaya kita berubah dari tidak suka membaca akan menjadi masyarakat yang tidak hanya gemar bercerita tetapi juga cinta membaca dan kita berharap secepatnya kita bisa naik kelas minimal untuk memasuki tahap literer. Berani?.


(Muhammad Adam, adalah The Founder of Plus Institute dan Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara).

12 comments:

Anonymous said...

mantap. tapi jangan terlalu ikut gaya menulis bang prang.

Teuku Fayan said...

Adam kembali mengingatkan kita tentang pentingnya membaca. Membaca lebih dari sekedar mengeja kata per kata. Kata-kata itu harus merasuk ke dalam diri kita hingga membuat kita haus dan lapar. Tentu saja haus dan dan lapar akan ilmu....

Anonymous said...

ini lebih mengabstraksikan kurangnya minat baca mansyarakat.....bagus kak Adam...peningkatan minat baca ini lebih baiknya disasarkan pada lembaga pendidikan yang secara formal terlebih dahulu. Seperti di negara India, secara empiris memberlakukan satu syllabus dengan referensi sebanyak 5 buku.kalau dimalaysia orang tua diwajibkan membaca demi meningkatkan kualitas anaknya so nggak cuma anaknya saja yang baca tetapi orang tuanya juga tapi dalam konteks pendidikan formal (SD)...Namun, yang paling menjengkelkan kalau buku yang ada diperpus(seperti kampus saya) kurang up to date jadi mahasiswa yg kesusahan

Tentang said...

wow..adam dapat pengetahuan baru ni...intinya sekecil apapun usaha kita itu akan bermanfaat....

Tentang said...

Terimkasih Teuku Fayan...tidak hanya tektual, tetapi juga harus mampu baca yang unwritten words...

Tentang said...

oh ya??emang adam terbawa gaya Bang Prang? ini in nature aja....terimakasih anyway...

Shofia Mawaddah said...

topiknya menarik bang adam, memang inilah fenomena yang sedang kita hadapi, masyarakat kita miskin membaca dan buta menulis. haha. sebenernya sofi termasuk salah satu yang tidak terlalu suka membaca karena auditory, lebih suka mendengarkan. jadi hanya membaca kalau penting-penting saja. *loh kok jadi curhat?!@#%^&

kalau secara umum tulisannya bagus bang, solusi yang dikasi juga simpel dan solutif, tapi kalau menurut sofi cakupannya terlalu luas. terlalu banyak pihak yang dilibatkan. haha.

benar, untuk membudayakan membaca membutuhkan proses yang berkesinambungan dari berbagai pihak. tapi ibarat penelitian semakin spesifik variabel semakin bagus. haha. misalnya abang hanya fokus ke intervensi yang harus diberikan pemerintah saja, atau intervensi ke orang tuanya saja. itu cuma menurut sofi aja sih.. sofi juga masih berguru..haha

overall, keren bang. sukses yaa...:D

Tentang said...

wah wah wah...luar biasa feed backnya Sof...thanks banget ya....

Nining said...

pdhl ada yang bilang dgn membaca kita sama aja membuka jendela dunia kan?
dengan membaca at least jadi tau dunia luar yang belum pernah dikunjungi :)

Tentang said...

yes exactly Dwi...makanya kita perlu sama2 memberikan contoh yg baik..gimana? setuju?

Jurnal Maman said...

wah bener juga... tapi kayaknya lebih asik bercerita, karena pembawaannya akan lebih fun :D

kunjungi juga sob http://ariexfy.blogspot.com/2012/01/robin-lim-bidan-peraih-cnn-hero-of-year.html happy blogging

Tentang said...

Hi Sob...Pa kabr? terimakasih sudah berkunjung ke blog saya...

Post a Comment

 
Web developed by Eka.aSOKA.web.id | Domain Host by aSOKAhost.com
Follow @MuehammadAdam