November 23, 2011

Rugi atau Laba?

SEBUAH tulisan tentang manajemen yang saya baca mendeskripsikan berbagai keunggulan manajemen Jepang yang berbasis senioritas dan pengabdian dibandingkan dengan manajemen Amerika yang lebih berbasis keahlian. Ada banyak perbedaan lain yang diungkapkan  bacaan saya itu tentang kedua tipe manajemen tersebut. Tapi yang membuat saya lebih terkesan adalah ketika ia mengutip Konoshuke Matsushita, pendiri salah satu perusahaan elektronik terbesar di Jepang, tentang makna laba.

Apa itu laba? Kata Matsushita: laba ialah rasa terimakasih dari para konsumen terhadap produk atau pelayanan yang dihasilkan oleh produsen. Jadi laba itu bukan sekadar selisih antara modal pokok dengan hasil penjualan. Ibaratnya kalau modal anda Rp 1 juta lalu anda menjualnya Rp 1,2 juta, maka laba anda adalah Rp. 0,2 juta. Itu belum tentu laba, karena tidak menyertakan unsur rasa terimakasih pembeli anda. Boleh jadi klien anda itu menyesal setelah ia membayarnya karena produk atau servis anda tidak memuaskan atau bahkan ia merasa terpedaya. Sehingga sepintas kelihatannya anda mendulang laba, tapi sesungguhnya anda mulai menabur rugi. Pepatah Aceh menyebutkan: Meunyo sulet keu pangkai.

Meuhat kanjai keu laba. Jika tipuan anda jadikan modal Tentu sesal menjadi laba. Kalau anda paham Bahasa Aceh, rasanya anda sepakat bahwa kata “kanjai” lebih menusuk dari pada kata “sesal” dalam terjemahan Indonesia. Lebih dari sesal, di situ juga terkandung nuansa malu dan rasa bersalah yang berat untuk ditebus kembali. Seorang yang kanjai, merasa dihukum oleh batinnya sendiri, meskipun ia lolos dari jeratan hukum biasa.

Jadi seorang enterpreneur sejati, alih-alih dari cepat-cepat mengail untung besar, ia akan berusaha merebut hati konsumennya untuk jangka panjang dan memelihara hubungan dengan mereka untuk waktu yang lama. Pedagang yang hebat bukanlah mereka yang mencari jalan pintas, memukul secara hit and run. Ibarat kata Khairil Anwar, sekali berarti, setelah itu mati!

Jadilah enterpreneur sejati yang justru mencari jalan untuk membuat konsumennya berterimakasih bahkan berhutang budi dan merasa berbahagia dapat membeli produk anda. Mengapa? Karena ternyata produk itu menguntungkannya. Benar, produk anda itu rupanya juga menguntungkannya selain menguntungkan anda. Alangkah indahnya hidup dengan saling memberi untung. Suatu saat ketika klien anda itu membutuhkan lagi, ia tetap akan mencari jenis atau merek yang sama.

Saya sering mengutip kalimat Matsushita tentang laba itu dalam beberapa kuliah dan ceramah dan biasanya diimbuhi dengan improvisasi dari saya sendiri. Yakni dengan menambah nuansa Islami dalam upaya membuat konsumen merasa berterimakasih untuk jangka panjang. Jangka panjang itu harus ditarik sampai ke Hari Akhirat.

Jadi kalau anda sebagai produsen menjalin hubungan jangka panjang dengan konsumen, tidaklah semata-mata bertujuan membina konsumen yang loyal di dunia ini, tetapi anda harus menarik garisnya sampai ke hari akhirat nanti. Ini bermakna kalau anda bekerja keras, berlaku jujur, menepati janji dan sebagainya bukan semata-mata merebut simpati (calon) konsumen anda, tetapi ada komitmen ukhrawi yang jauh lebih penting anda tepati. Justru komitmen ini yang pertama-tama harus anda tepati. Jika nantinya konsumen anda tertarik, itulah bonusnya. Jadi bukan bonus dulu yang dikejar. Jika ini yang anda lakukan anda bisa kehilangan dua-duanya.

Produsen plus konsumen      
Lalu siapa produsen dan siapa pula konsumen? Saya biasa menjawabnya sendiri dalam retorika saya, bahwa setiap anda adalah seorang produsen sekaligus konsumennya. Siapa pun anda, apa pun pekerjaan anda, pejabat tinggi atau rakyat paling kecil anda pasti memproduk  sesuatu. Setidaknya sikap anda, kalimat anda, bahkan seuntai senyum sekalipun yang anda lepaskan pada lawan bicara anda. Paling tidak itu pasti setiap saat anda produksi dan sekaligus anda konsumsi dari mana-mana. Anda adalah sekaligus produsen dan konsumennya.

Jadi buatlah agar sikap anda, kata-kata yang anda keluarkan atau  senyum yang anda kembangkan membuat “konsumen” anda, orang-orang yang berinteraksi dengan anda merasa beruntung pernah bertemu dengan anda, pernah bertukar senyum dengan anda. Dengan demikian  besar kemungkinan konsumen anda itu akan mencari jalan untuk membalas budi baik anda kepadanya sebagai rasa terimakasih kepada anda. Paling tidak ia akan membalasnya dengan sikap dan senyuman yang sama. Bukankah itu laba yang sejati?

Saya pernah membaca kisah tentang Carl Lewis, seorang sprinter dari USA, yang dijuluki King Carl, setelah ia dapat mengumpulkan delapan medali emas atletik pada tiga kali Olimpiade, dan pernah lama memegang rekor dunia lari 100 M. Ia tidak tiba-tiba menjadi atlet besar, seperti juga orang-orang besar lainnya. Sebagai atlet junior dahulu ia sering dilecehkan, bahkan direndahkan oleh para seniornya. Namun ia tetap tabah menjalani semuanya dan senantiasa berusaha membalikkan pelecehan dan cemoohan mereka untuk menyulut semangatnya. Sampai akhirnya ia berada jauh di atas posisi para “seniornya” itu. Tapi setelah ia ada di puncak, pengalaman pahitnya sebagai yunior dulu selalu diingatnya dan itu semua digunakan untuk melecut dirinya agar tidak pernah melakukan hal yang sama kepada para yuniornya. Kepahitan masa lalu itu biarlah dia sendiri yang mengalami. Yuniornya kini tak perlu bersakit-sakit seperti yang dia rasakan sebelumnya. Ia justru berterima kasih kepada para senior dulu yang telah menempanya dengan berbagai tindakan miring mereka.  Merujuk pada ajaran Matsushita tadi, laba atau keuntungan juga dapat diperoleh tidak dari jalan yang lurus, tapi dari lorong yang berliku.

Ada seorang atlet lain dari Eropa yang agaknya juga memberi nuansa dalam filosofi kerja keras yang searah dengan ajaran Matsushita tentang makna laba. Ia adalah Juergen Klinsmann, seorang atlet tenar Jerman Barat dalam cabang sepak bola. Klinsmann senior, ayah Juergen, adalah seorang tukang roti. Bagi Klinsmann terdapat persamaan erat antara pekerjaan ayahnya sebagai tukang roti dengan profesinya sebagai pemain sepak bola. Seorang tukang roti senantiasa harus menghidangkan roti yang terbaik hari ini. Roti kemarin, betapapun enaknya, hari ini telah basi. Hasil terbarulah yang membuat anda dinilai berpestasi.

Tentu tidak hanya Klinsmann, tidak cuma sepak bola dan tukang roti, semua kita dan setiap profesi juga diharapkan memberi prestasi seperti itu. Yakni hasil yang paling baik dan paling baru. Kalau anda produsen, prestasi anda diukur pada produksi anda yang terbaik dan paling anyar. Produksi lama telah masuk dalam buku rekor sejarah anda. Begitu juga jika anda anggota masyarakat lainnya, posisi anda dilihat sikap anda, gerak-gerik anda, kalimat-kalimat anda bahkan senyuman anda yang terbaik dan paling mutakhir. Ibarat main sepakbola, kesebelasan yang menang adalah yang paling banyak memasukkan gol pada detik terakhir pertandingan. Gol-gol indah yang anda masukkan sebelumnya tentu saja dapat masuk dalam buku rekor anda, tapi ia menjadi tidak begitu bermakna bila dalam score terakhir anda kalah juga. Hasil terakhirlah yang menjadi ukurannya.

Jadi selalulah berusaha untuk memberikan yang terbaik sampai pada detik yang terakhir kesempatan anda. Bukankah pelajaran yang indah (dan sederhana) ini dapat kita petik dari mana-mana?

Oleh: Rusjdi Ali Muhammad            

* Penulis adalah Kadis Syariat Islam Provinsi Aceh.

0 comments:

Post a Comment

 
Web developed by Eka.aSOKA.web.id | Domain Host by aSOKAhost.com
Follow @MuehammadAdam