November 17, 2011

Anomali Politik PA

JIKA ada yang bertanya apa komponen mendasar yang membedakan kehidupan politik di Aceh dengan daerah lain di Indonesia, jawabannya ada pada partai politik lokal. Semenjak berdiri menjelang pemilu legislatif lalu, proses demokratisasi berlangsung begitu dinamis. Geliat demokrasi itu semakin terasa ketika waktu pemilihan kepala daerah di provinsi dan 17 kabupaten/kota sudah dekat. Bagi partai lokal, momen pilkada ini merupakan pengalaman politik ketiga setelah pemilu legislatif dan presiden/wakil presiden.

Keberadaan komponen demokrasi berskala lokal ini, harus diakui bisa menjadikan Aceh berbangga diri. Setelah pemilu 1955, tidak ada lagi ruang yang diberikan pemerintah untuk mengembangkan kehidupan politik dan demokrasi sesuai dengan nilai dan budaya masing-masing daerah. Bahkan, desentralisasi politik dalam otonomi daerah saat inipun, tidak membuka ruang sedikitpun untuk hadirnya partai politik lokal di daerah.

Sejatinya, ketika desentralisasi politik diberlakukan harus pula diiringi dengan hak membentuk partai politik yang berskala lokal. Sebab melalui jalur inilah semua aspirasi politik masyarakat bisa disalurkan. Partai lokal akan bekerja menampung, memadukan dan menganlisis berbagai kepentingan untuk diperjuangkan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Masyarakat bisa berpartisipasi aktif dalam jarak yang sangat dekat terhadap kerja-kerja yang dilakukan partai politik lokal. Dengan demikian, jarak antara masyarakat dengan para pembuat dan pengambil kebijakan di daerah tersebut bisa semakin dekat.

Harus disadari bahwa kemajemukan masyarakat bangsa ini, tidak bisa didekati dengan pola terpusat, apalagi dipisahkan oleh jarak yang cukup jauh. Kehidupan partai politik berbasis nasional selama ini, diakui gagal membantu mengangkat derajat kemanusiaan masyarakat terutama yang ada di lapisan terbawah. Partai politik mengalami disfungsi begitu pemilu legislatif atau pemilu kepala daerah usai.  Kehadiran partai politik lokal dengan demikian, diharapkan bisa memutus rentang kendali partai yang begitu jauh, antara daerah dan pusat. Di sisi lain, masyarakat mempunyai banyak alternatif pilihan politik ketika ingin memperjuangkan hak-hak mereka. Inilah hakikat demokrasi yang menyediakan beragam partai politik dengan skala yang tidak hanya nasional tetapi juga lokal. Demokrasi lokal yang dinamis akan menjadi gambaran positif bagi kehidupan demokrasi  nasional.

Pengembalian hak politik rakyat Aceh oleh pemerintah dengan kebebasan mendirikan partai politik lokal, merupakan sebentuk “perlakuan” yang istimewa. Tanpa bermaksud menghilangkan aspek sejarah yang ikut melatari lahirnya keputusan politik pemerintah tersebut, saya berpendapat bahwa sudah sepatutnya negara juga mengembalikan hak politik warganya dengan membiarkan mereka mendirikan partai lokal di setiap daerah. Karena sekali lagi, ketika otonomi daerah dan desentralisasi politik dijadikan pilihan dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara, tanpa diminta hak tersebut semestinya diberikan.

Tetapi saya bisa memahami, bahwa realitas kehidupan politik bangsa hari ini yang tidak memungkinkan hadirnya partai politik lokal di seluruh wilayah Indonesia. Otonomi daerah dengan penyerahan dan pelimpahan sebagian tugas dan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah, merupakan upaya maksimal yang bisa dilakukan pemerintah dalam mendorong percepatan dan pemerataan pembangunan.

Dari enam partai politik lokal peserta pemilu 2009, Partai Aceh (PA) berhasil mengumpulkan suara terbanyak di tingkat provinsi dan mendudukkan 33 orang kader terbaiknya di kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Sedangkan ditingkat kabupaten/kota, partai berhasil menguasasi 237 kursi yang tersebar di 21 kabupaten/kota. Untuk kepala eksekutif, PA juga menguasai hampir setengah dari jumlah kabupaten/kota yang ada.

Dengan modal politik yang sangat besar ini, partai bentukan mantan anggota kelompok Gerakan Aceh Merdeka ini sangat mudah merealisasikan cita-cita keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Syarat tambahan yang diperlukan adalah bagaimana mengelola modal besar tersebut di tengah keterbatasan pengalaman politik, birokrasi, dan pengetahuan di bidang tertentu. Di titik inilah diperlukan kerelaan untuk mau membuka diri terhadap perbedaan kepentingan di antara kekuatan-kekuatan politik yang ada.

Celakanya, hal inilah yang kurang dari gerakan politik PA selama ini. Modal politik yang besar tidak digunakan untuk melahirkan kebijakan-kebijakan politik yang mencerminkan kehendak rakyat. Energi politik partai dihabiskan untuk menghadang lawan politik dalam memperebutkan pucuk pimpinan di eksekutif. Sialnya lagi, lawan politik yang dihadang berasal dari satu rumah gerakan yang sama, yakni sesama “alumni” GAM.

Momen pilkada ini memperlihatkan betapa PA sebagai partai dengan suara terbanyak sedang memainkan gerakan politik yang ganjil bahkan kontraproduktif bagi partai sendiri dan masa depan demokrasi lokal di Aceh. Keteguhan sikap partai terhadap proses pilkada yang konon dianggap tidak memiliki landasan hukum yang jelas, menunjukkan hal tersebut. Perbedaan pandangan terhadap keberlakukan beberapa pasal dalam UU No.11/2006 terkait dengan calon perseorangan, pengaturan dimulainya tahapan oleh KIP dan hak DPRA terhadap pasal-pasal dari UU PA yang mengalami perubahan, misalnya, sudah ditemukan tafsirnya. Terhadap Pasal 256, Mahkamah Konsitusi bahkan telah memberikan keputusannya yang bersifat final dan mengikat.

PA sepertinya tidak memikirkan eksistensi partai untuk jangka waktu yang panjang. Kegaduhan yang ditimbulkan oleh sikap politik yang kaku, telah berdampak serius bagi stabilitas pemerintahan. Turbulensi politik yang melanda pemerintahan daerah, menjadikan roda pembangunan berputar sangat lambat bahkan nyaris terhenti. Seluruh kekuatan politik yang ada di parlemen, mengamankan posisi dan kepentingan politik jangka pendek masing-masing. Agenda utama legislatif menjadi terabaikan, digantikan dengan perwujudan nafsu politik yang haus kekuasaan.

Sekuat apapun PA menyatakan ke publik bahwa terdapat konflik regulasi dalam pelaksanaan pilkada, tidak langsung diterima dan dibaca secara linear. Publik bahkan membaca alasan-alasan hukum yang dikemukakan tersebut ini dengan cara terbalik. Bahwa sebetulnya tidak ada konflik regulasi, yang ada hanya konflik politik antara PA dengan Irwandi Yusuf (incumbent) yang notabenenya sama-sama dilahirkan dari rahim GAM.

Karena itu cara yang ditempuh adalah cara-cara politik yang konstruktif dengan menjadikan masa depan Aceh sebagai titik berangkat yang sama. Harus ada kerelaan dan kamaun hati untuk saling membangun komunikasi politik dengan semangat keseteraan dan saling menghargai. Berpolitik yang cerdas, mengundang simpati dan empati publik, diperlukan dalam memecah kebuntuan politik saat ini. Bukan politik yang penuh dengan agitasi dan propaganda.

PA memiliki keharusan politik melakukan hal ini guna meluruskan sikap politiknya di atas jalur yang lebih rasional. Karena pada akhirnya berpolitik bukanlah perkara menang-kalah yang dilakukan di luar wilayah etika, sebagaimana yang dinasihatkan Machiavelli dalam Il Principe-nya. Bahwa yang menang berkuasa, yang kalah harus menjadi pecundang. 

Penulis: Mashudi SR (aktivis Pemuda Muhammadiyah Aceh)

Sumber: Serambi Indonesia

0 comments:

Post a Comment

 
Web developed by Eka.aSOKA.web.id | Domain Host by aSOKAhost.com
Follow @MuehammadAdam