Tak hanya damai, berakhirnya masa konflik juga mendedah tatanan baru politik demokrasi di Aceh. Sayangnya, transisi demokrasi tersebut tak sepenuhnya mulus.
Tahapan konsolidasi dengan ciri penguatan peran masyarakat sipil, alienasi pola militeristik dan kekerasan di lembaga-lembaga demokrasi, tak kunjung menemukan lahannya. Dendam lama warisan konflik kerap membuncah. Upaya rekonsiliasi yang tak kunjung usai pun kian memperparah.
Masa 35 tahun terakhir yg dilalui Aceh memberikan pelajaran mendalam bagi kita. Tak hanya bagi rakyat Aceh, tapi bagi Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.
Era konflik (1976-2005), menyunggingkan makna betapa pentingnya pemerataan pembangunan dan penghargaan atas kekhasan lokal, serta betapa mahalnya dampak buruk politik kekerasan oleh negara .
Konflik juga mengingatkan akan hilangnya nyawa ribuan anak bangsa secara sia-sia, kegetiran hidup warga, terbuangnya triliunan rupiah uang rakyat, serta dendam tak berkesudahan.
Era damai Aceh (2005-sekarang) menyampaikan kepada kita betapa indahnya damai. Perdamaian pun memungkinkan tatanan politik baru yang demokratis di Aceh dalam bingkai otonomi khusus. Calon perseorangan muncul, partai politik lokal hadir. Hadirnya calon perseorangan di Aceh, bahkan, telah menginisiasi berlakunya hal serupa dalam kontestasi pemilu nasional.
Namun, sejarah panjang konflik juga menyisakan labirin panjang bagi berjalannya konsolidasi demokrasi di Aceh pada era damai ini. Gejolak politik rawan merembet kepada kekerasan. Perbedaan pandangan di tingkat elite mudah memicu ketegangan. Dendam lama peninggalan konflik berkelindan dengan pertarungan kekuasaan lokal.
Di saat yang sama, bingkai institusionalisasi demokrasi di Aceh, khususnya terkait tata aturan perundang-undangan carut marut. Beberapa aturan tentang kekhususan Aceh dalam Undang Undang Pem erintahan Aceh, misalnya, berbenturan dengan perundangan nasional. Beberapa hal terkait kekhususan Aceh yang diamanatkan dalam MoU Helsinki, bahkan, belum ditindaklanjuti dalam bentuk aturan perundangan.
Dosen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syi ah Kuala Banda Aceh, Saifuddin Bantasyam, mengatakan, melihat politik di Aceh saat ini tak bisa disamakan dengan melihat kondisi politik lokal di daerah lain di Indonesia. Situasi pos konflik adalah determinan yang tak bisa dihindarkan.
Suasana batin e lite politik di Aceh, khususnya eks Gerakan Aceh Merdeka dan pendukungnya belum sepenuhnya lepas dari bayang-bayang konflik. Benturan kepentingan politik mudah memicu ketegangan. Kesalahan komunikasi pemerintah pusat mudah menggoreskan kekecewaan dan res istensi, ujar dia.
Konflik pilkada tahun 2011 ini merupakan bentuk akumulasi polemik pertarungan kekuasaan di alam demokrasi yang bersilang sengkarut dengan suasana batin warisan masa konflik. Tak heran, polemik putusan Mahkamah KOnstitusi yang membolehk an calon perseorangan kembali ada dalam Pilkada Aceh, begitu mudah menyulut sentimen perlawanan kelompok yang memiliki histori konflik.
Transisi Ahistoris
Transisi demokrasi di Aceh memperlihatkan sisi yang paradoks. Tak seperti kebanyakan proses transi si menuju konsolidasi demokrasi di negara-negara lain, demokrasi di Aceh tak muncul dari bentuk antitesis atas sejarah otoritarian rezim sebelumnya oleh kaum oposisi reformis. Institusionalisasi demokrasi di Aceh hadir dari perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah pusat sebagai titik akhir negosiasi atas konflik separatisme 30 tahun.
Demokrasi di Aceh bukan muncul dari keadaan tanpa demokrasi. Institusi demokrasi sebelumnya sudah ada. Namun, masa damai merevitalisasinya dengan kekhususan dan penambahan perangkat baru berupa calon independen dan partai politik lokal, serta aturan khusus yang termanifestasi dalam Undang Undang Pemerintahan Aceh. Disinilah awal argumen ahistoris ini.
Proses semacam itu mengakibatkan demokrasi di Aceh hadir dalam suasana pos konflik. Faktor sejarah dan kultur yang terbentuk sepanjang konflik pun berpengaruh dalam proses intitusionalisasi demokrasi dan peran sipil pada era damai.
Mungkin kondisi tersebut nyaris sejalan dengan model transisi yang pernah diungkapkan Guillermo O Donnell dan kawan-kawan (1986), juga Samuel Huntington (1991), bahwa tak ada satu pun pola yang bersifat linear dan baku dalam fenomena transisi demokrasi. Faktor-faktor historis, kultural dan struktural lokal atau domestik hampir selalu jadi variabel yang menentukan pola dan arah transisi demokrasi
Kondisi paradoks atau ahistoris tersebut pada akhirnya memberikan keleluasaan terbatas bagi Aceh untuk membangun politiknya selepas konflik. Partai lokal dapat hadir untuk merepresent asikan aspirasi politik masyarakat, calon independen dimungkinkan ada, lembaga Wali Nanggroe ditegaskan, syariat Islam diakomodasi. Perangkat-perangkat yang tak ada di daerah lain di Indonesia, bahkan di politik nasional sekalipun.
Sipil dan militeristik
Namun, transisi demokrasi paska konflik sebagai bentuk transisi yang paradoks itu juga menghadirkan persoalan baru dalam konsolidasi demokrasi di Aceh. Konsolidasi belum benar-benar terejawentahkan dalam supremasi masyarakat sipil dan alienasi pola militeristik.
Komponen masyarakat sipil seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), cendekiawan, ulama, dan mahasiswa banyak yang tercerai berai dalam alur-alur kepentingan politik. Hal ini terkait kapitalisasi ekonomi politik yang berkutat pada elite politik.
Koordinator Badan Pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian mengungkapkan, hampir sebagian besar LSM di Aceh tak memiliki sumber pendanaan yang berkesinambungan. Hal ini mengakibatkan mereka mudah sekali tergoda untuk menjalin h ubungan dengan kekuatan politik tertentu. Hal ini tampak pada saat menjelang pilkada 2011 ini di mana banyak aktivis yang terseret menjadi tim sukses atau barisan pendukung kelompok politik tertentu. Disinilah kekuatan sipil organik, yang mandiri dan berk esinambungan, sulit terwujud.
Ini yang membuat elemen-elemen ini sulit mendesakkan isu bersama mengkritisi pemerintah atau kebobrokan dalam politik di Aceh. Kekuatan politik yang ada tercerai berai. Konsolidasi sipil belum terbentuk, kata dia.
Gerakan intelektual organik di Aceh yang tumbuh pesat usai reformasi hingga masa peralihan konflik ke masa damai justru mulai menunjukkan titik beku. Banyak di antara elemen-elemen kritis yang dulu ada lebih memilih menjadi bagian kekuasaan atau berpolitik praktis.
Bekunya gerakan itu bisa dilihat dari sisi kemasan isu dan dana. Beberapa isu yang diangkat dalam hampir bisa dipastikan semuanya merupakan isu yang sudah dipesan lembaga donor internasional atau kelompok politik tertentu. Dengan demikian, isu yang diwac anakan lebih bersifat titipan, berhenti setelah program pendanaan selesai, meski ada juga yang bergerak dengan isu yang dikemas secara mandiri.
Di pihak lain, Partai Aceh sebagai representasi politik GAM, sekaligus kekuatan politik dominan di Aceh pada era damai, justru belum sepenuhnya dapat menunjukkan jatidiri demokratisnya. Partai ini masih mempertahakan garis komando militeristiknya. Paradigma konflik pun lebih mengemuka dalam pengambilan keputusan politik di partai ini daripada cara pandang politik positif sebagai basis perjuangan kesejahteraan rakyat.
Banyak kader partai politik lokal yang masih belum dapat menerima perbedaan. Pendidikan dan pengalaman politik demokrasi yang minim pun menjadi kendala untuk mengartikulasikan kepentingan secara demokratis.
Kasus pemukulan khatib saat khotbah solat Jumat di Keumala, Kabupaten Pidie, beberapa waktu lalu oleh seorang pengurus salah satu partai politik lokal karena tersinggung dengan isi khotbah sang khatib yang bernuasa politis adalah salah satu contoh ma sih minimnya rasa toleransi dalam menyikapi perbedaan pandangan politik.
Kebebasan pers sendiri justru kerap tersandera oleh dominasi partai politik. Pers di Aceh saat ini masih sering mendapat tekanan. Bukan dari pemerintah atau aparat keamanan, tapi ironisnya justru dari partai-partai politik, ujar Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Muhtaruddin Yacob.
Juru Bicara Partai Aceh, Fachrul Razi mengatakan, sebagai partai politik baru, partainya masih terus berbenah untuk memperbaiki diri dan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Dia mengakui, ada sejumlah kader partai politiknya yang bermasalah. Namun, mereka sudah mendapatkan sanksi internal. Kami ada mekanisme sanksi bagi kader kami yang melanggar aturan, kata dia.
Ketua Departemen Pendidikan Partai Aceh, Nur Zahri, dalam sebuah diskusi komunikasi politik di Banda Aceh beberapa waktu lalu mengakui minimnya pendidikan kader-kader partai politiknya . Hal ini membuat kemampuan komunikasi politik kader Partai Aceh terbatas dan terlalu sederhana. Mereka berkomunikasi untuk pendukung partai kami saja, ujar dia.
Akumulasi dari kondisi demikian menyulitkan upaya pembentukan desain politik Aceh ke depan. Hal ini karena lembaga-lembaga politik sebagai muara perjuangan aspirasi mandul memproduksi peraturan-peraturan baru yang menjadi tatanan berikutnya dan lepas dari pertaruhan kepentingan politik jangka pendek.
Dalam 3 tahun terakhir, penyampaian laporan RAPBD Aceh selalu terlambat beberapa bulan ke pemerintah pusat. Hal ini karena terbatasnya ke mampuan legislasi, kepedulian, tingginya tawar menawar politik di luar program pembangunan, serta lebih besarnya perhatian elite politik di DPR Aceh kepada kepentingan kekuasaan daripada kesejahteraan rakyat.
Rekonsiliasi
Akibat tingginya tensi pertarunga n politik antara Gubernur Aceh dengan DPR Aceh terkait pilkada tahun 2011 ini, program-program pembangunan rakyat banyak yang terbengkelai. Qanun misalnya, dari 22 raqnun yang sudah diajukan untuk dibahas tahun 2011 ini, baru 4 qanun yang selesai.
Terkait rangkaian persoalan tersebut, sayangnya pemerintah pusat cenderung setengah hati. Bahkan, beberapa hal kaitannya dengan upaya rekonsiliasi paska konflik seperti pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan pengadilan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), tak kunjung direalisasikan. Akumulasi kekecewaan terjadi. Rekonsiliasi pun tak kunjung usai menemukan bentuknya.
Kondisi semakin sulit saat paradigma konflik yang masih kuat di benak sebagian kekuatan politik di Aceh. Turbulensi politik kekuasaan yang berkelindan dengan tumpang tindih regulasi pilkada, berkolaborasi dengan kekecewaan, pun kini mengancam demokrasi Aceh yang tak kunjung tuntas terkonsolidasi.
Pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, semestinya tak ragu untuk segera turun tangan menengahi konflik pilkada yang kini mengarah kepada benturan massa akar rumput di Aceh tersebut. Dalam jangka panjang, rekonsiliasi harus dituntaskan. Bukankah biaya memperbaiki demokrasi dan menjaga perdamaian jauh lebih murah daripada menghentikan perang?
Oleh: Burhanuddin (Wartawan Kompas)
Sumber : Kompas
Sumber : Kompas
0 comments:
Post a Comment