MAKNA revitalisasi menurut Merriam Webster Thesaurus: “the act or an instance of bringing something back to life”, suatu tindakan atau upaya mengembalikan sesuatu hal menjadi hidup kembali (eksis). Sementara itu, diplomasi menurut Oxford dictionary of politic, disebut sebagai suatu tindakan memperjuangkan kepentingan bangsa.
Prestasi gemilang diplomasi Aceh di masa silam, terutama pada kurun waktu abad 16-17, sejarah mencatat dengan tinta emas reputasi kiprah Kerajaan Islam Aceh Darussalam dalam diplomasi internasional. Sultan Iskandar Muda Perkasa Alam masa itu telah menjalin hubungan politik, ekonomi, dan budaya dengan beberapa kekuatan adidaya dunia masa itu, seperti Inggris, Amerika, Belanda, Prancis, Portugis, dan Arab. Tokoh seperti, Abdul Hamid, Mir Hasan, dan Habib Abdurrahman (yang terakhir ini kemudian membelot ke Belanda), adalah diplomat kawakan. Membuktikan elite penguasa Aceh di masa itu, telah memiliki pandangan hidup yang cukup baik.
Kerajaan Aceh masa itu, masuk dalam lima besar kerajaan Islam dunia, bersama Ottoman, Maroko, Isfahan, dan Mogul. Suatu success story yang mengesankan, piawai berkomunikasi, dan berinteraksi dengan berbagai bangsa di dunia. Ironi, jika generasi Aceh Baru tidak mampu mewarisinya dengan lebih progresif. Di era kecanggihan teknologi komunikasi, dan informasi yang semakin menisbikan faktor jarak dan waktu.
Kemajuan beberapa bangsa di dunia pun, buah dari interaksi dengan dunia luar. Bangsa Jepang bangkit setelah terjadi restorasi Meiji pada tahun 1866. Negeri matahari terbit itu, menggunakan strategi menyerap semua lini keunggulan peradaban moderen bangsa barat. Sukses ini, kemudian diikuti oleh Republik Rakyat Cina pada tahun 1978, melalui program empat modernisasi (pertanian, pendidikan, militer, industri). Hasilnya, kini kedua negara di Timur Asia ini, melesat maju dan terkemuka dalam bidang ekonomi, teknologi, dan industri. Keberanian, dan kesediaan untuk berubah melalui eksperimen pada hal-hal baru adalah kuncinya. Bangsa Jepang dan Cina berani mengubur tradisi yang menghambat kemajuan dan meninggalkan budaya dan politik pintu tertutup (isolationis policy). Beralih kepada kebijakan baru, politik membuka diri (open door policy) kepada dunia.
Dua futuris kondang dunia, yakni Alvin Toffler dengan masterpiece larisnya “Third Wave”, dan John Naisbit dalam tesis “Mega Trends”--keduanya--menegaskan, dunia sedang menapaki era information age menuju information society. Ditandai peningkatan intensitas komunikasi antarbangsa. Kelambanan beradaptasi dengan peradaban baru ini, akan berdampak tersisihnya suatu bangsa dari tatanan pergaulan internasional.
Urgensi Go Internasional
Di samping alasan historis di atas, beberapa realitas berikut meniscayakan Aceh mesti go international. Pertama, Nota Kesepahaman Damai antara GAM-RI (MoU Helsinki, 2005), yang salah satu butir kesepakatannya, Aceh memiliki peluang mengadakan hubungan dagang langsung dengan luar negeri. Kedua, posisi geo-strategik dan geo-ekonomi Aceh berada di lintasan utama perdagangan dunia. Ketiga, memelihara momentum simpati, dan atensi dunia internasional kepada Aceh, yang telah dibuktikan dalam proses negosiasi damai maupun rehab-rekon tsunami. Memelihara keterkaitan politik yang telah terbina antara Aceh dengan dunia internasional. Ini harus dikelola secara strategis, sistematis dan berkesinambungan. Imej rakyat Aceh sebagai korban ganda--konflik dan tsunami--masih melekat di benak komunitas dunia. Keempat, memacu progres Sabang dan pulau Aceh masuk dalam pusaran utama pasar bisnis dunia.
Munculnya blok-blok perdagangan bebas di berbagai kawasan dunia, NAFTA di wilayah Amerika, Uni Eropa, dan AFTA (ASEAN Free Trade Agreement) pada 2020. Merupakan peluang, sekaligus tantangan bagi Aceh. Dibutuhkan kesiapan organisasional, dan profesional agar dampak globalisasi ekonomi ini bisa disikapi secara cerdas.
Perlu agenda konkrit
Revitalisasi diplomasi internasional Aceh, harus diwujudkan dalam agenda aksi konkrit. Perlu dibangun aliansi strategis, dan sinergis antar-elemen pemerintah, kekuatan sipil, perguruan tinggi, dan komunitas bisnis swasta. Karena, diplomasi pada hakikatnya, adalah aset dan faktor dalam perjalanan sejarah Aceh masa silam hingga kini.
Perlu dikaji pembentukan desk internasional atau unit kerjasama luar negeri dalam struktur organisasi Pemerintah Aceh. Setingkat biro di provinsi, dan bagian di tingkat kabupaten/kota. Melibatkan pakar akademis (think tank) yang interdisipliner, dan komunitas bisnis (KADIN dan HIPMI). Unit ini, berperan mengkaji, dan merumuskan grand disain kerjasama ekonomi daerah dengan mitra luar negeri. Pihak eksekutif, pimpinan instansi provinsi, maupun kabupaten/kota, harus bervisi internasional khususnya dalam berbagai kebijakan ekonomi, investasi, dan pariwisata.
Kalangan legislatif perlu merancang berbagai produk legislasi yang substansinya akomodatif, dan adaptif terhadap perkembangan internasional. Kita berharap para kepala daerah hasil pilkada pun, memiliki pola pikir yang berwawasan lintas batas.
Perlu dikaji juga, peluang mendirikan “Aceh International Trade and Tourism Center” (AITTC), semacam “kedutaan” Aceh di luar negeri. Dengan misi utama dibatasi pada soft power diplomacy, ekonomi, teknologi, budaya, dan pendidikan untuk kemakmuran Aceh. Pembatasan ini, terutama dimaksudkan, menghindari kritik elite nasional ultranasionalis berwatak chauvinis. Kalangan ini, memang cukup lama mengidap Aceh phobia, dari awal proses negosiasi damai RI-GAM kerap bersuara sumbang terhadap Aceh.
Lembaga AITTC milik bersama pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota. Pendanaan bersumber dari APBA, APBK dan APBN. Untuk efisiensi, dan kedekatan lokasi, kantor perdana bisa berada di Singapura. Jaringan lobi dan jaringan kerja internasional, bisa menggandeng Rumoh Aceh Internasional atau WAA (World Acehnese Association) di Eropa, dan tentu saja CMI-nya Atthisari. Fungsi utama lembaga ini, sebagai sentra informasi, dan promosi potensi ekonomi Aceh. Mencari akses pasar bagi eksportir Aceh yang ingin berbisnis di luar negeri. Jika AITTC suskses bisa dibuka di pusat-pusat bisnis dunia seperti, New York, London, Amsterdam, Hongkong, dan Singapura.
Di masa depan AITTC bisa berkembang, seperti Taiwan Trade Representative (TTR). Taiwan meskipun tidak lagi memiliki hubungan diplomatik dengan banyak negara, setelah kursinya di PBB digantikan RRC. Namun, postur internasionalnya tetap diakui dunia. TTR dapat ditemukan di pusat-pusat metropolis utama dunia. Negara pulau kecil ini terus berkiprah dalam diplomasi internasional, termasuk menjadi anggota organisasi perdagangan dunia WTO.
Prestasi gemilang diplomasi Aceh di masa silam, terutama pada kurun waktu abad 16-17, sejarah mencatat dengan tinta emas reputasi kiprah Kerajaan Islam Aceh Darussalam dalam diplomasi internasional. Sultan Iskandar Muda Perkasa Alam masa itu telah menjalin hubungan politik, ekonomi, dan budaya dengan beberapa kekuatan adidaya dunia masa itu, seperti Inggris, Amerika, Belanda, Prancis, Portugis, dan Arab. Tokoh seperti, Abdul Hamid, Mir Hasan, dan Habib Abdurrahman (yang terakhir ini kemudian membelot ke Belanda), adalah diplomat kawakan. Membuktikan elite penguasa Aceh di masa itu, telah memiliki pandangan hidup yang cukup baik.
Kerajaan Aceh masa itu, masuk dalam lima besar kerajaan Islam dunia, bersama Ottoman, Maroko, Isfahan, dan Mogul. Suatu success story yang mengesankan, piawai berkomunikasi, dan berinteraksi dengan berbagai bangsa di dunia. Ironi, jika generasi Aceh Baru tidak mampu mewarisinya dengan lebih progresif. Di era kecanggihan teknologi komunikasi, dan informasi yang semakin menisbikan faktor jarak dan waktu.
Kemajuan beberapa bangsa di dunia pun, buah dari interaksi dengan dunia luar. Bangsa Jepang bangkit setelah terjadi restorasi Meiji pada tahun 1866. Negeri matahari terbit itu, menggunakan strategi menyerap semua lini keunggulan peradaban moderen bangsa barat. Sukses ini, kemudian diikuti oleh Republik Rakyat Cina pada tahun 1978, melalui program empat modernisasi (pertanian, pendidikan, militer, industri). Hasilnya, kini kedua negara di Timur Asia ini, melesat maju dan terkemuka dalam bidang ekonomi, teknologi, dan industri. Keberanian, dan kesediaan untuk berubah melalui eksperimen pada hal-hal baru adalah kuncinya. Bangsa Jepang dan Cina berani mengubur tradisi yang menghambat kemajuan dan meninggalkan budaya dan politik pintu tertutup (isolationis policy). Beralih kepada kebijakan baru, politik membuka diri (open door policy) kepada dunia.
Dua futuris kondang dunia, yakni Alvin Toffler dengan masterpiece larisnya “Third Wave”, dan John Naisbit dalam tesis “Mega Trends”--keduanya--menegaskan, dunia sedang menapaki era information age menuju information society. Ditandai peningkatan intensitas komunikasi antarbangsa. Kelambanan beradaptasi dengan peradaban baru ini, akan berdampak tersisihnya suatu bangsa dari tatanan pergaulan internasional.
Urgensi Go Internasional
Di samping alasan historis di atas, beberapa realitas berikut meniscayakan Aceh mesti go international. Pertama, Nota Kesepahaman Damai antara GAM-RI (MoU Helsinki, 2005), yang salah satu butir kesepakatannya, Aceh memiliki peluang mengadakan hubungan dagang langsung dengan luar negeri. Kedua, posisi geo-strategik dan geo-ekonomi Aceh berada di lintasan utama perdagangan dunia. Ketiga, memelihara momentum simpati, dan atensi dunia internasional kepada Aceh, yang telah dibuktikan dalam proses negosiasi damai maupun rehab-rekon tsunami. Memelihara keterkaitan politik yang telah terbina antara Aceh dengan dunia internasional. Ini harus dikelola secara strategis, sistematis dan berkesinambungan. Imej rakyat Aceh sebagai korban ganda--konflik dan tsunami--masih melekat di benak komunitas dunia. Keempat, memacu progres Sabang dan pulau Aceh masuk dalam pusaran utama pasar bisnis dunia.
Munculnya blok-blok perdagangan bebas di berbagai kawasan dunia, NAFTA di wilayah Amerika, Uni Eropa, dan AFTA (ASEAN Free Trade Agreement) pada 2020. Merupakan peluang, sekaligus tantangan bagi Aceh. Dibutuhkan kesiapan organisasional, dan profesional agar dampak globalisasi ekonomi ini bisa disikapi secara cerdas.
Perlu agenda konkrit
Revitalisasi diplomasi internasional Aceh, harus diwujudkan dalam agenda aksi konkrit. Perlu dibangun aliansi strategis, dan sinergis antar-elemen pemerintah, kekuatan sipil, perguruan tinggi, dan komunitas bisnis swasta. Karena, diplomasi pada hakikatnya, adalah aset dan faktor dalam perjalanan sejarah Aceh masa silam hingga kini.
Perlu dikaji pembentukan desk internasional atau unit kerjasama luar negeri dalam struktur organisasi Pemerintah Aceh. Setingkat biro di provinsi, dan bagian di tingkat kabupaten/kota. Melibatkan pakar akademis (think tank) yang interdisipliner, dan komunitas bisnis (KADIN dan HIPMI). Unit ini, berperan mengkaji, dan merumuskan grand disain kerjasama ekonomi daerah dengan mitra luar negeri. Pihak eksekutif, pimpinan instansi provinsi, maupun kabupaten/kota, harus bervisi internasional khususnya dalam berbagai kebijakan ekonomi, investasi, dan pariwisata.
Kalangan legislatif perlu merancang berbagai produk legislasi yang substansinya akomodatif, dan adaptif terhadap perkembangan internasional. Kita berharap para kepala daerah hasil pilkada pun, memiliki pola pikir yang berwawasan lintas batas.
Perlu dikaji juga, peluang mendirikan “Aceh International Trade and Tourism Center” (AITTC), semacam “kedutaan” Aceh di luar negeri. Dengan misi utama dibatasi pada soft power diplomacy, ekonomi, teknologi, budaya, dan pendidikan untuk kemakmuran Aceh. Pembatasan ini, terutama dimaksudkan, menghindari kritik elite nasional ultranasionalis berwatak chauvinis. Kalangan ini, memang cukup lama mengidap Aceh phobia, dari awal proses negosiasi damai RI-GAM kerap bersuara sumbang terhadap Aceh.
Lembaga AITTC milik bersama pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota. Pendanaan bersumber dari APBA, APBK dan APBN. Untuk efisiensi, dan kedekatan lokasi, kantor perdana bisa berada di Singapura. Jaringan lobi dan jaringan kerja internasional, bisa menggandeng Rumoh Aceh Internasional atau WAA (World Acehnese Association) di Eropa, dan tentu saja CMI-nya Atthisari. Fungsi utama lembaga ini, sebagai sentra informasi, dan promosi potensi ekonomi Aceh. Mencari akses pasar bagi eksportir Aceh yang ingin berbisnis di luar negeri. Jika AITTC suskses bisa dibuka di pusat-pusat bisnis dunia seperti, New York, London, Amsterdam, Hongkong, dan Singapura.
Di masa depan AITTC bisa berkembang, seperti Taiwan Trade Representative (TTR). Taiwan meskipun tidak lagi memiliki hubungan diplomatik dengan banyak negara, setelah kursinya di PBB digantikan RRC. Namun, postur internasionalnya tetap diakui dunia. TTR dapat ditemukan di pusat-pusat metropolis utama dunia. Negara pulau kecil ini terus berkiprah dalam diplomasi internasional, termasuk menjadi anggota organisasi perdagangan dunia WTO.
Oleh: Sahari Ganie
Sumber : Serambi Indonesia, Kamis, 15 September 2011 10:11
* Penulis adalah alumnus Master Hubungan Internasional American University London. Mantan staf bidang multilateral KBRI London.
* Penulis adalah alumnus Master Hubungan Internasional American University London. Mantan staf bidang multilateral KBRI London.


Thursday, September 15, 2011
Tentang
Posted in: 

0 comments:
Post a Comment